Saturday, February 25, 2012

HUKUM ISLAM DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

Menurut Prof. Hazairin Hukum Islam yang berlaku bagi ummat Islam ada dua, pertama hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis, dan yang kedua, hukum Islam yang berlaku secara normatif.
Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis adalah sebagian hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat yang disebut dengan istilah mu’amalah. Bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud adalah “Hukum Perkawinan, hukum kewarisan, wakaf dan sebagainya seperti sengketa ekonomi Islam”. Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis ini memerlukan bantuan penyelenggara Negara untuk menjalankannya secara sempurna dengan mendirikan “Peradilan Agama” yang menjadi salah satu unsur dalam system peradilan Nasional di Negara kita.
Sedangkan Hukum Islam yang bersifat normative tidak memerlukan bantuan penyelenggara Negara untuk melaksanakannya, seperti shalat, puasa dan zakat.
Untuk menegakkan hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal dalam Negara Republik Indonesia, pada tanggal 8 Desember 1988, Presiden RI menyampaikan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dibicarakan dan disetujui menjadi Undang-Undang menggantikan semua peraturan perundang-undangan tentang Peradilan Agama yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman 1970.
Pada tanggal 14 Desember 1989, RUU Peradilan Agama itu disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Republik Indonesia tentang Peradilan Agama. Kemudian pada tanggal 29 Desember 1989, Undang-Undang tersebut menjadi Undang-Undang nomor 7 Tahun 1989.
Dengan disahkannya Undang-Undang itu semakin mantaplah kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di tanah air kita dalam menegakkan hukum berdasarkan hukum Islam bagi pencari keadilan yang beragama Islam. Berdasarkan Undang-undang nomo 7 tahun 1989 di atas bahwa   kewenangan Peradilan Agama dalam Pasal 49 ayat (1)Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : (a) perkawinan; (b) kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hokum Islam; (c) wakaf dan shadaqah yang telah menjadi hukum positif di tanah air kita. Kemudian dengan lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang no. 7 tahun 1989 tentang Peradilam Agama telah membawa perubahan besar dalam eksintensi Lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan yang mendasar adalah penambahan wewenang Peradilan Agama dalam bidang ekonomi syari’ah. Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) UUPA Nomor 3 Tahun 2006 ditegaskan bahwa Peradilan Agama memiliki kewenangan dalam memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk “Ekonomi Syari’ah”. Pasal ini menyatakan bahwa  yang dimaksud dengan “ekonomi Syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi : (a) Bank Syari’ah; (b) Lembaga Keuangan Makro Syari’ah; (c) Asuransi Syari’ah; (d) Reasuransi Syari’ah;(e)Reksadana Syari’ah (f) Obligasi dan surat berharga berjangka menengah Syari’ah; (g) Sekuritas Syari’ah; (h) Pembiayaan Syri’ah;(i) Pegadaian Syari’ah; (j) Dana pensiun lembaga keuangan Syari’ah; dan (k) Bisnis Syari’ah.
Dengan bertambah kewenangan Peradilan Agama dalam memutus perkara yang berkaitan dengasn “Ekonomi Syari’ah”. Maka para hakim di Pengadilan Agama harus menguasai tentang ilmu ekonomi Syari’ah disamping ilmu hokum formil yang dimiliki selama ini.
Berkaitan dengan hal di atas, Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syari’ah Unisba telah membekali mahasiswanya dengan berbagai mata kuliah yang ada kaitannya dengan ekonomi syari’ah, yaitu antara lain diadakannya mata kuliah (1) Hukum Perbakkan Syari’ah; (2) Fiqh Muamalah( ekonomi Islam) secara komfrehensip dan mendalam; (3)Ushul Fiqh/Filsafat Islam; (4) Etika Bisnis Islam, dan lainnya yang terkait dengan ekonomi syari’ah.
Mata kuliah tersebut diberikan sebagai antisipasi agar lulusan peradilan agama Fakultas Syari’ah Unisba, ketika menjadi hakim nanti dapat memutus perkara sengketa ekonomi syari’ah sesuai dengan undang-undang yang belaku dan dapat adil terhadap berbagai pihak.
Dalam ekonomi syari’ah banyak istilah-istilah aqad yang digunakan. Istilah tersebut harus betul-betul dipahami sehingga tidak terjadi sengketa antar berbagai pihak. Lembaga Keuangan Syri’ah (LKS) yang didukung oleh berbagai peraturan dan perundangan perbankkan berkeinginan untuk menegakkan pola hubungan antara lembaga keuangan dengan nasabah berdasrkan system syari’ah.
Pola hubungan berdasarkan system syari’ah yang harus dibangun tentu saja memerlukan personal yang mampu menggabungkan antara ilmu yang berkaitan dengan ekonomi dan perbankkan syari’ah dengan ilmu syari’ah itu sendiri. Para alumni jurusan Peradilan Agama Fakultas Syari’ah sudah disiapkan untuk itu, dan ini telah terbukti banyak dari alumninya telah bekerja di Lembaga Keuangan Syari’ah. Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, alumni Jurusan Peradilan Agama tidak hanya bisa bekerja sebagai hakim di Pengadilan Agama, tapi juga sebagai pejabat di Lembaga Keuangan Syari’ah.
Untuk mengantisipasi sengketa perekonomian syari’ah yang terjadi di Lembaga Keuangan Syari’ah, serta para pengguna jasanya. Mereka menyadari bahwa untuk penyelesaiannya mereka tidak dapat menggunakan Lembaga Peradilan Umum, dan hanya dapat diseselasaikan di Pengadilan Agama. Dengan diundangkannya undang-undang nomor 3 tahun 2006, maka sengketa yang terjadi antara LKS dan pengguna jasanya berkaitan dengan ekonomi syari’ah, mutlak menjadi kewengan Peradilan Agama.
Read more »

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Dunia_Pendidikan 2011