Monday, May 30, 2011

KEKUASAAN KEHAKIMAN

Kegiatan Belajar 1: Kekuasaan Kehakiman yang Bebas dan Tidak Memihak
Rangkuman
Indonesia dikatakan sebagai negara hukum, hal ini dapat dilihat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan bukan berdasar atas kekuasaan semata-mata. Ini menunjukkan bahwa segala tindakan harus dilandasi oleh hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Selain itu suatu negara dikatakan sebagai negara hukum bila mempunyai ciri-ciri antara lain: Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, peradilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak, serta adanya legalitas dalam arti hukum.

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yakni Pasal 24 ayat (1) dan (2) dan Pasal 25. dan mengalami perubahan setelah Amandemen ke III UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001 oleh MPR. Menurut UUD 1945 kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan lain seperti pemerintah maupun badan lain selain pemerintah sehubungan dengan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, maka ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan kehakiman dapat bebas dan tidak memihak yakni :
1. Landasan Yuridis tentang Mahkamah Agung.
2. Kualitas dan Integritas Para hakim.
3. Tradisi kehidupan hukum dalam masyarakat.

Mengapa yang disebut faktor yang menyebabkan kekuasaan kehakiman dapat bebas dan tidak memihak salah satunva adalah landasan yuridis tentang Mahkamah Agung, hal ini karena Mahkamah Agung merupakan puncak dari proses peradilan yang dilakukan di Indonesia, di mana semua peradilan-peradilan yang berada di bawahnya bernaung di bawah Mahkamah Agung. Faktor kualitas dan integritas para hakim sangat penting, karena ini menyangkut hakim dalam mengambil suatu keputusan dan kemudian tradisi hukum dalam masyarakat yakni bahwa adanya hukum untuk dapat memenuhi tuntutan rasa keadilan bagi masyarakat.

Kegiatan Belajar 2: Kekuasaan Mengadili
Rangkuman
Kekuasaan mengadili adalah kekuasaan yang dimiliki oleh hakim di peradilan dalam usaha menerima, memeriksa dan memutus perkara. Berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak pada sidang pengadilan, menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Ada empat tiang peradilan yang kita kenal menurut Undang-undang No. 14 Tahun 1970 j.o Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 yakni peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan jika dilihat dari macam pengadilan, maka dibedakan atas Pengadilan Sipil dan Militer. Pengadilan Sipil terbagi lagi menjadi Pengadilan Umum dan Khusus. Pengadilan Umum terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, sedangkan Pengadilan Khusus terdiri dari Pengadilan Agama, Adat dan Administrasi Negara. Sedangkan Pengadilan Militer sendiri terdiri dari Pengadilan Tentara, Pengadilan Tentara Tinggi dan Pengadilan Tentara Agung.

Pengadilan Negeri adalah suatu pengadilan yang umum atau sehari-hari, yang memeriksa dan memutus perkara perdata dan pidana sipil untuk semua golongan penduduk pada pertama. Pengadilan Tinggi adalah pengadilan banding yang mengadili pada tingkat kedua suatu perkara perdata atau pidana yang telah diadili atau diputus pada Pengadilan Negeri.

Jika segala upaya hukum telah dilakukan dan belum mencapai hasil yang memuaskan terhadap putusan Pengadilan Negeri maupun pengadilan Tinggi, maka seseorang dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung merupakan badan peradilan tertinggi dan terakhir di Indonesia di dalam memutuskan suatu perkara baik perkara perdata maupun perkara pidana.

Kegiatan Belajar 3: Kekuasaan Kehakiman Setelah UUPKK (Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman) dan KUHAP
Rangkuman
Mengenai kekuasaan kehakiman selain ketentuan dalam Pasal 24 dan 25 UUD 1945, kita juga mengenal Undang-undang anorganik mengenai kekuasaan kehakiman yang menjadi penjelasan dari berlakunya UUD 1945 Pasal 24 dan 25 tersebut. Ada tiga UU tentang Kekuasaan Kehakiman yang pernah berlaku di Indonesia yakni:
1. Undang-undang No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan.
2. Undang-undang No. 19 Tahun 1964 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
3. Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
4. Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung

Dari keempat Undang-undang ini terdapat perbedaan dan persamaan, namun yang perlu dicatat bahwa ada dua hal pokok yang terdapat dalam ketiga undang-undang tersebut yakni:
1. Kekuasaan Kehakiman yang Bebas.
2. Hak menguji oleh Mahkamah Agung.

Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berwenang untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan
e. memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Daftar Pustaka

* Adji Seno, Oemar. (1990). Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta: Erlangga
* Kansil, C.S.T. (1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
* Lewis, Anthony. (1984). Peranan MA di Amerika Serikat. Jakarta: Pradya Paramita.
* Sagala, B, Budiman. (1982). Praktik Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945. Ghalia Indonesia.
* Saleh, Wantjik. K. Budiarto, M. (1981). KUHAP 1981. Jakarta: Ghalia Indonesia.
* Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi (2006), Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Jakarta
* Noer, Deliar. (1984). Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, Jakarta: Yayasan Penghidmatan.
* Kusnardi, Moh, & Saragih, Bintan. B. (1978). Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945. Jakarta: PT. Gramedia
* Musanef. (1993). Sistem Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Masagung.
* Wahyono, Padmo. (1984). Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini. Jakarta: Ghalia Indonesia.
* Moehammad, Goenawan. Mengapa Kami Menggugat. Jakarta: Alumni Tempo.
* Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: P & K.
* Media Indonesia. Rabu, 29 Januari 1997.
Read more »

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Dunia_Pendidikan 2011