Thursday, February 16, 2012

MODEL PENELITIAN TASAWUF “IBNU AROBI” WAHDAT AL WUJUD DALAM PERDEBATAN

BAB I

PENDAHULUAN

    Latar Belakang

Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mencakup berbagai jawaban atas sebagai kebutuhan manusia. Slain menghadapi kebersihan lahiriyah juga menghendaki kebersihan batiniyah. Lantaran penelitian yang sesungguhnya dalam Islam diberikan pada aspek batinnya.[1]

Tasawuf merupakan bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutanya dapat menimbulkan akhlak mulia. Pembersihan aspek rohani atau batin ini selanjutnya dikenal sebagai dimensi esoteric dari diri manusia. Hal ini berbeda dengan aspek fiqih, khususnya pada bab thoharoh yang memusatkan perhatian pada pembersih aspek jasmani atau lahiriyah yang selanjutnya di sebut sebagai dimensi eksotrik.[2]

Dari suasana demikian itu, tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral yang mengambil bentuk seperti manipulasi, koropsi, kolusi, penyalagunaan kekuasaan dan kesempatan, penindasan, dan sebagainya. Untuk mengatasi masalah ini tasawuf di bina secara intensif tentang cara-cara agar seseorang selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya.[3]

    Rumusan Masalah

1.      Apakah pengertian tasawuf ?

2.      Siapakah para ahli yang telah timbul upaya untuk melakukan penelitian tasawuf ?

3.      Bagaimana model-model penelitian tasawuf ?

4.      Bagaimana Wahdat al-Wujud menurut Ibn al-‘arabi ?

5.      Bagaimana Panteisme dalam Wahdat al-Wujud menurut Ibn al-‘arabi?

6.      Apakah polemik pemakaian Istilah Panteisme untuk Wahdat al-Wujud?

    Pentingnya Kajian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas pentingnya Kajian yakni :

a)      Untuk mengetahui pengertian tasawuf.

b)      Untuk mengetahui siapa saja para ahli yang telah timbul upaya untuk melakukan penelitian tasawuf.

c)      Untuk mengetahui model –model penelitian tasawuf.

d)     Untuk Mengetahui Wahdat al-Wujud menurut Ibn al-‘arabi.

    Telaah Pustaka

Sudah dijelaskan bahwa antusiasme pengkajian terhadap Ibnu ‘Arabi sejak lama sampai saat ini terus menyala. Pemikiran Ibnu ‘Arabi menjadi daya tarik yang luar biasa melebihi tokoh-tokoh sezamannya dalam bidang tasawuf, untuk selalu dan selalu dikaji dan dipelajari. Ratusan karya yang membahas tentangnya sudah diterbitkan baik berupa buku, artikel, maupun jurnal yang ditulis intelektual Barat maupun Timur termasuk Indonesia. Seperti halnya sebuah obyek yang tidak hanya mempunyai satu sisi untuk dilihat, Ibnu ‘Arabi menawarkan banyak sisi yang selalu menantang untuk diteliti, pemikirannya yang luas dapat dilihat dari banyak segi.

Ada sebagian tokoh yang mengkhususkan diri meneliti riwayat hidupnya saja, misalnya Claude Addas dalam bukunya Quest for the Red Sulphur atau R.W.J. Austin dalam Sufis of Andalusia. Buku yang pertama memaparkan biografi Ibnu ‘Arabi dan yang kedua mengenai riwayat hidup dan zamannya yang memberi penjelasan tentang tujuh puluh orang Maghribi yang menurut Ibnu ‘Arabi dari merekalah dia “mengambil manfaat di jalan akhirat”.

Buku-buku yang memberikan gambaran tentang pemikiran Ibnu ‘Arabi juga tidak kalah banyaknya. Sebagai contoh buku Seal of the Saints dan An Ocean without Shore yang memberikan gambaran yang jelas tentang kedalaman ajaran Ibnu ‘Arabi tentang kewalian dan Qur’an. Buku ini ditulis oleh Michel Chodkiewicz. Sedangkan Henry Corbin dalam bukunya Creative Imagination in the Sufism of Ibnu ‘Arabi  menyajikan ajaran Ibnu ‘Arabi dengan cara sendiri. Stephen Hirtenstein bahkan menulis tentang ajaran dan kehidupan spiritual pribadi Ibnu ‘Arabi sekaligus dalam satu buku, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran & Kehidupan Spiritual Syaikh Al Akbar Ibnu ‘Arabi .

Dari sekian banyak buku yang membahas tentang Ibnu ‘Arabi, ada juga yang berusaha sekedar menterjemahkan karya-karyanya dalam bagian-bagian tetentu. Misalnya William C. Chittick mencoba menerjemahkan bagian-bagian dalam Futtuhat Makiyah dalam buku The Sufi Path of Knowledge dan The Self Disclosure of God. Ada juga Angela Seymour yang menerjemahkan 12 bab dari Fusushul Hikam dalam The Wisdom of the Prophet.12

Untuk mewakili tokoh intelek Timur yang menulis buku tentang Ibnu ‘Arabi, kita bisa menyebut A.E. Afifi yang bukunya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi. Di dalamnya memaparkan hasil pemikiran Ibnu ‘Arabi yang dia petakan sebagai berikut : Ontologi, logos, Etika dan Estetika. Keempat klasifikasi tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Tokoh lain dari Timur yaitu S.H. Nashr yang memasukkan Ibnu ‘Arabi dalam tiga besar pemikir Islam dalam buku Three Muslim Sages yang meskipun karya pendek tetapi cukup representatif untuk memaparkan pemikiran Ibnu ‘Arabi.

    Metodologi

Penelitan ini bersifat kepustakaan murni atau library research. Artinya data-data yang digunakan berasal dari sumber kepustakaan baik primer maupun sekunder, baik berupa buku, ensiklopedi, jurnal, majalah dan lain sebagainya. Yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:

    Model penelitian historis faktual mengenai tokoh dan alirannya. Dalam hal ini adalah Ibnu ‘Arabi dengan wahdatul wujudnya
    Model penelitian Ibnu ‘Arabi dan filsafat sebelum kemudian mencari titik temunya.

Metode yang akan digunakan adalah deskriptif sintesis. Deskriptif adalah menggambarkan konsep atau pemikiran Ibnu ‘Arabi dan Plotinus lengkap dengan riwayat hidupnya. Sintesis adalah suatu usaha mencari kesatuan dalam keragaman atau mencari titik temu antara kedua pemikiran sehingga terwujud keterkaitan.

    Ruang lingkup Kajian

1.      Definisi Tasawuf

Dari segi kebahasaan (linguistic) terdapat sejumlah kata atau istilah yang di hubungkan orang dengan tasawuf. Selain pengertian tasawuf juga dapat dilihat dari segi istilah. Dalam kaitan ini terdapat tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf. [4]

a.         Sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas.

b.         Sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang.

c.         Sudut pandang manusia sebagai makhluk yang bertuhan.

Maka dari itu, tasawuf atau sufisme adalah salah satu jalan yang diletakkan Tuhan di dalam lubuk Islam dalam rangka menunjukkan mungkinnya pelaksanaan kehidupan rohani bagi jutaan manusia yang sejati yang telah berabad-abad mengikuti dan terus mengikuti agama yang diajarkan Al-Qur’an.

2.      Berbagai model dan bentuk dapat dikemukakan sebagai berikut :

1.      Model Sayyed Husein Nasr

Model Sayyed Husein Nasr selama ini dikenal sebagai ilmuan muslim ke-6 di abad modern yang amat produktif dalam melahirkan berbagai karya ilmiah. [5]

2.      Model Kautsar azhari Noor

Model Kautsar azhari Noor memusatkan perhatianya terhadap tasawuf dengan judul Ibnu Arabi : Whdat Al-wujud Dalam Perdebatan, dan telah diterbitkan oleh paramadina, Jakarta, tahun 1995. Paham Wadat Al-wujudi ini timbul dari faham bahwa Allah sebagai diterangkan dalam uraian tentang hulul, ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Oleh karena itu dijadikan ala mini merupakan cermin bagi Allah.

3.      Model Mustafa Zahri

Mustafa Zahri memusatkan perhatiannya terhadap tasawwuf dengan menulis buku berjudul “kunci memahami ilmu tasawuf” diterbitkan oleh Bina Ilmu, Surabaya, tahun 1995. Dalam buku tersebut diterangkan tentang kerohaniahan yang kunci mengenal Tuhan, sendi kekuatan bathin, fungsi kerohanian dalam menenteramkan bathin, tarekat dari segi arti dan tujuannya. Dengan demikian, penelitian tersebut semata-mata bersifat eksploratif yang menekankan pada ajaran yang terdapat dalam tasawuf berdasarkan literatur yang ditulis oleh para ulama’ terdahulu serta dengan mencari sandaran pada al-Qur’an dan al-Hadits.[6]

4.      Model Harun Nasution

Harun Nasution memusatkan perhatiannya di bidang tasawuf yang berjudul “Filsafat dan mistisisme dalam Islam” yang diterbitkan oleh bulan bintang, Jakarta, terbitan pertama tahun 1973. Penelitian yang dilakukan beliau adalah untuk mengambil pendekatan tematik, yakni penyajian yang disajikan dalam tema jalan untuk dekat pada Tuhan, zuhud dan station-station lain, al-Mahabbah, al-ma’rifah, al-fana dan al-baqa’, al-ittihad, al-hulul dan wahdat al-wujud. Penelitian yang menggunakan pendekatan tematik terasa lebih menarik karena langsung menuju kepada persoalan tasawuf dengan pendekatan yang bersifat tokoh.[7]

5.      Model A.J. Arberry

Dalam bukunya berjudul “Pasang surut aliran Tasawuf”, Arberry mencoba menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh. Dengan pendekatan demikian ia coba kemukakan tentang firman Tuhan, kehidupan Nabi, Para Zahid, para sufi. Dari isi penelitian tersebut, tampak Arberry menggunakan analisis kesejarahan yakni berbagai tema tersebut dipahami berdasarkan konteks sejarahnya. [8]

3.      Model-model penelitian tasawuf

a.       Model Sayyed Husein Nasr

Sayyed husein Nasr selama ini dikenal sebagai ilmuwan muslim kenamaan diabab modern yang amat produktif dalam melahirkan berbagai karya ilmiah.Perhatiannya terhadap pengembangan studi islam.Hasil penelitiannya dalam bidang tasawuf ia sajikan dalam bukunya berjudul tasawuf dulu dan tasawuf sekarang yang di terjemahkan oleh Abdul Hadi W.M dan diterbitkan oleh Pustaka Firdaus,Jakarta tahun 1985.

Model penelitian tasawuf yang diajukan Husein Nasr adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan tematik yang berdasarkan pada studi kritis terhadap ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah.[9]

b.      Model Mustafa Zabri

Mustafa Zabri memusatkan perhatiannya terhadap tasawuf dengan menulis buku berjudul Kunci Memahami Ilmu Tasawuf diterbitkann oleh Bina Ilmu,Surabaya,tahun 1995.Penelitian yang digunakannya bersifat exsploratif,yakni menggali ajaran tasawuf dari berbagai literature ilmu tasawuf.

Penelitian tersebut semata-mata bersifat exsploratif yang menekankan pada ajaran yang ditulis oleh para ulama terdahulu serta dangan mencari sandaran pada Al Qur’an dan hadis.[10]

c.       Model Kautsar Azhari Noor

Kautsar Azhari Noor selaku dosen pada Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,dalam rangka penulisan disertasinya memusatkan perhatian pada penelitian dibidang tasawuf.Judul penelitiannya . Judul penelitiannya adalah:Ibn Arabi:Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan,dan telah diterbitkan oleh Paramadina,Jakarta,tahun 1995.Kautsar menggunakan studi tentang tokoh dengan fahamnya yang khas,Ibn Arabi dengan fahamnya Wahdat al-Wujud.

d.      Model Harun Nasution

Harun Nasution,guru besar dalam bidang Teknologi dan Filsafat Islam juga menaruh perhatian terhadap penelitian da bidang tasawuf.Hasil penelitiannya dalam bidang taswuf ia tuangkan antara lain dalam bukunya berjudul Falsafat dan Mistisme dalam Islam,yang diterbitkan oleh Bulan Bintang Jakarta,terbitan pertama tahun 1973.Penelitian yang dilakukan Harun Nasution pada bidang tasawuf ini mengambil pendekatan tematik,yakni penyajian ajaran tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk dekat pada Tuhan,zuhud dan station-statio lain,al-mahabbah,al-ma’rifah,al-fana’ dan al-baqa,al-itihad,al-hulul,dan wahdat al-wujud.[11]

e.       Model A.J.Arberry

Arberry adalah salah seorang peneliti Barat kenamaan,banyak melakukan studi keislaman,termasuk penelitian dalam bidang tasawuf.Dalam bukunya berjudul Pasang Surut Aliran Tasawuf,Arberry mencoba menggunakan pendekatan kombinasi,yaitu antara pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh. Dengan pendekatan demikian ia coba kemukakan tentang firman Tuhan,kehidupan nabi,para Zahid, Para Sufi,para ahli teori tasawuf,struktur teori tasawuf,struktur teori dan amalan tasawuf,tarikat sufi ,teosofi dalam aliran tasawuf ,serta runtuhnya aliran tasawuf.

4.      Wahdah Al Wujud Ibn Al ‘Arabi

1.      Sejarah singkat istirahat wahdat al wujud

Doktrin wahdat al wujud biasanya dihubungkan dengan Ibn Al ‘Arabi karena dianggap sebagai pendirinya. Doktrin yang senada diajarkan oleh beberapa sufi jauh sebelum Ibn Al ‘Arabi yaitu Ma’aruf Al Karkhi (w. 200/815) seorang sufi terkenal dari Baghdad yang hidup 4 abad sebelum Al ‘Arabi, beliau mengungkapkan syahadat dengan kata-kata “Tiada sesuatu pun dalam  wujud kecuali allah”.

Adapun Ibn Al ‘Arabi sendiri sekalipun tak pernah menggunakan doktrin ini dianggap sebagai pendiri doktrin ini. Al ‘Arabi tak hanya menekankan pada keesaan wujud tapi juga menekankan pada keanehan realitas, ia mengajarkan konsep tansyb, tasybih, al batin, az zahir.

Al Qunawi menggunakan istilah wahdat al wujud  untuk menunjukkan keesaan Tuhan sesuai ide Al ‘Arabi tidak mencegah keanekaan penampakan Nya. Meskipun Esa dalam zatnya atau dalam hubungan Nya dengan tanzib Nya, wujud ada banyak dalam penampakanNya. Wahdad al wujud dalam pandangan Farghani taraf terendah dalam kemajuan spiritual.

Nasafi menggunakan istilah teknis untuk menunjukan suatu keseluruhan doktrin. Ia mengungkapkan ahli wahdat untuk menyebut oarang-orang yang mendukung wahdah al wujud.

Ibnu Taymiyyah menggunakan istilah wahdah dalam karyanya, dalam judul 2 uraian :

Ø Ibtal wahdah al wujud (pembatalan wahdah al wujud).

Ø Risalah Ila’man Sa’alahu Haqiqot madzhab al ittihadiyyah ay al’qo’ilin bi wahdah al wujud.

Ibnu Taymiyyah menyamakan wahdah al wujud dengan ittihad, istilah wahdat al wujud bagi taymiyyah mempunyai arti negatif, ia menggunakan sebagai kutukan dan ejekan. Baginya istilah yang sinonim dengan ajaran bidas adalah ittihad dan hulul.

Menurut studi modern di barat, doktrin wahdah al wujud diberi label-label panteisme, monisme, monisme pantelistik. Para studi serius tentang Ibn Al ‘Arabi mengkritik penggunaan label-label Ibn Al’Arabi.

2.      Wujud dan Adam

Penngertian wujud menurut istilah Inggris : being/existence. Kata wujud tidak dterjemahkan secara tepat kedalam bahasa apapun. Marijah Mole mengaku kesulitan menterjemahkan kata wujud secara tepat. Begitu pula W.C chittick tidak bisa menterjemahkan wujud secara memuaskan kedalam kata apapun.

3.      Al Haqq dan Al Khalq

Al Haqq dalam karya Al ‘Arabi memppunyai pengertian yang berbeda dalam konteks-konteks berbeda pola. Al Haqq dalam konteks hubungan antrologis antara Al Haqq dan Al Kholiq. Al Haqq adalah allah sang pencipta, yang esa, sedang Al Khaliq adalah makhluk, alam, yang banyak, al maujudat dan al mukminat.

4.      Tajalli Al Haqq

Konsep tajalli ada dasar pandangan dunia Ibn Al ‘Arabi. Tajalli biasanya diterjemahkan penulis-penulis modern kedalam bahasa Inggris dengan self disclosure (penyingkapan diri/pembukaan diri) self revelation (pembukaan diri,pernyataan diri), self manifestation (penampakan diri) dan theophany (penampakan tuhan).

5.      Al Zahir dan Al Batin

Baik tuhan maupun alam keduanya tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi ontologis. Menurt Ibn Al ‘Arabi disebut Al Jam’a Bayna Al Addad dalam falsafah barat disebut coincidentia oppositorum.

6.      Yang Satu dan yang Banyak

Pemahaman yang benar terhadap wujud harus mencakup  bukan hanya kesatuan tetapi juga keanekaanya karena wujud adalah esa dan aneka, satu dan banyak meskipun wujud tuhan hanya satu tapi ia menampakan dirinya (tajalla) dalam banyak bentuk yang tidak terbatas dalam alam.

7.      Tanzih dan Tasybih

Pandangan Al ‘Arabi yang menyatakan bahwa tuhan menpunyai 2 segi kemisterian dan penampakan diri yaitu (tanzih dan tasybih). Dalam teologi Isla, penekanan pemahaman bahwa tuhan berbeda secara mutlak dengan alam sedangakan penekanan pemahaman tuahan, meskipun hanya pada tingkat tertentu mempunyai kemiripan/kesrupaan (tanzih).

8.      Al-Insan al-Kamil

Doktrin al-insan al-kamil Ibn al- Arabi membuat perbedaan antara manusia sempurna pada tingkat universal atau kosmik dan manusia sempurna pada tingkat partikular atau individual. Manusia sempurna pada tingkat universal, sebagaimana dikatakan W.C. Chittick, adalah hakikat manusia sempurna, yaitu model asli yang abadi dan permanen dari manusia sempurna individual, sedangkan manusia sempurna pada tingkat partikular adalah perwujudan manusia sempurna yang para nabi dan para wali Allah.

9.      Al a’yan al-tsabitah

Ibn al arabi addalah orang yang pertama kali menggunakan istikah al a’yan al tsabitah. Kata al a’yan adalah bentuk jamak dari ayn yang berarti substansi, esensi, zat, diri, individualitas, orang penting dan terpandang. Kata tsabitah adalah dalam bentuk muannas, feminim dari kata tsabit. Kata tsabit berarti tetap., tak berubah, pasti, tertentu, tak bergerak, diam, berdiri pada dasaryanng kokoh, tak goncang, teguh, mantap, konstan, stabil, permanen, kebal, tahan lama, abadi, tetap, terjamin,kesatuan yang konstan.

5.      Panteisme menurut Wahdat al-Wujud Ibn al-Arabi

1.      Pengertian Panteisme

Pantaisme berasal dari kata sifat “Panteis” lebih dari dipakai dari pada kata benda “Panteisme”. Kata panteisme dipakai pertama kali oleh John Toland, sang deis Irlandia, dalam karyanya Socinianism Truly Stated yang diterbitkan pada 1705. Panteisme pertama kali dipakai oleh salah seorang Lawan Toland Fay, pada tahun 1709 dan sejak itu istilah ini dengan cepat menjadi lazin digunakan.[12]

Definisi panteisme yang ditulis Thiessen adalah teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek, modifikasi atau bagian belakang dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya. Ia memandng tuhan sebagai satu dengan alam natural. Tuhan adalah semuanya, semua adalah tuhan. Ia muncul dalam bentuk masa kini yang diantaranya mempunyai pula unsur-unsur ateistik, politeistik atau teistik.[13]

Definisi thessen mengidentifikasikan tuhan dengan alam dan dengan demikian tampaknya menyatakan imanensi tuhan secara total dan menolak atau mengabaikan, transendasi-Nya. Maka tuhan adalah impersonal. Menurut CE Plumptre, panteisme dalam pengertian yang diterima secara sistem spikulasi dalam bentuk yang spiritualnya mengidentikkan alam dengan tuhan.[14]

2.      Tipe-tipe Panteisme

                        Menurut Flant ada beberapa tipe-tipe panteisme:[15]

a.    Kaum penteis yang mencari keesaan absolut dalam suatu prinsip matrial, dan membangun sistem-sistem dari apa yang dinamakan panteisme materistik

b.   Kaum panteisme yang mencari keesaan absolut dalam kekuatan fisik dan membangun sistem-sistem dari panteisme dinamis.

c.    Kaum panteis yang memandang keesaan absolut di bawah kesamaan kehidupan organik.

d.   Kaum panteis yang menempatkan keesaan absolut dalam memandang alam indrawi dan alam kesadaran sebagai ilusi.

e.    Panteisme yang berusaha menekankan suatu keesaan absolut yang mencakup semua yang keanekaan.

f.    Panteisme yang menempatkan keesaan absolut subyek dan obyek dari yang ideal dan yang real dari roh dan alam.

g.   Panteisme yang mendiskripsikan prinsip absolud sebagai suatu ego universal dan meliputi suatu ego pratikular.

h.   Panteisme hegal merunduk segala sesuatu pada pemikiran dan mendedukasi segala sesuatu dari pemikiran.

      Pendapat AE Garvie tipe panteisme secara garis besar ada dua:[16]

a.    Jika panteisme berpangkal pada keparcayaan atau keyakinanfilosofis kepada tuhansebagai realitas yang tak terhingga dan kekal maka alam yang terbatas dan temperal yang tertelan pada tuhan, dan pantaisme yang berpandang demikian akosmisme.

b.   Pankosmisme mengaku sebagai satu-satunya yang ada, sedangkan tuhan tidak ada.

3.      Kesamaran perbedaan Panteisme dengan Monisme dan Panteisme

Monomisme diartikan sebagai “Teori bahwa segala sesuatu berasal dari satu sumber terakhir yang tunggal” maka panteisme, panenteisme, teisme dan deisme sama dengan monoisme dalam hal ini karena paham-paham ini sama-sama mengaku bahwa segala sesuatu berasal dari segala sesuatu berasal dari satu sumber, yaitu tuhan.

Apabila diperhatikan pengertian monoisme ini, sulit meredakan antara panteisme dan monoisme. Kedua-duanya mengakui kesatuan realitas. S.A.Q Husaini mengatakan bahwa panteisme adalah salah satu bentuk monisme karena monisme karena disamping mempunyai bentuk panteistik , mempunyai pula bentuk-bentuk subtansial. [17]

6.      Polmik Pemakaian Istilah Panteisme Untuk Wahdat al-Wujud

1.      Pendapat-pendapat yang mendukung pemakaian istilah Panteisme

Pandangan barat tradisional mengatakan bahwa Ibn al-Arabi mewakili panteisme atau monoisme islam tentang tuhan sebagai suatu kekuatan yang hidup dan aktif dan karena itu ia bertanggung jawab sebagaian besar atas rusaknya kehidupan religius islam yang benar. Pendapat An-namare Schimmel yang telah dikemukakan dalam pendahuluan buku ini sayang sekali tidak menyebutkan nama-nama para sarana yang mewakili pandangan barat tradisional.

Schimmel mengatakan bahwa pandangan barat tradisional itu, yang mendukung pengguna istilah-istilah seperti panteisme , panteisme dan bahkan istilah-istilah  “monisme eksistensial”. Reynold A. Nicholson dalam tulisannya Ibn al-arabi yang dimuat dalam Encyclopedia of Religional and Ethis pernah mengatakan bahwa sesungguhnya sistem Ibn al_Arabi boleh dilukiskan sebagai suatu monisme panteismetik.

Hamka memandang bahwa menurut Ibn al-Arabi wujud hanya satu. Wujud alam adalah wujud tuhan. Tidak ada perbedaan diantara keduanya. Dalam pandangan hamka, Ibn al_Arabi mengidentikkan  tuhan dengan alam dan menolah perbedaan diantara keduanya.

2.      Pendapat-pendapat yang mengkritik Pemakaian Istilah Panteisme

Selanjutnya pembicaraan akan diarahkan kepada pendapat-pendapat yang menolak pemakaia istilah panteisme atau monoisme untuk menjuluki doktrin Wahdat al-Wujud. Diantara pendapat-pendapat itu yang perlu di kemukakan adalah pendapat Henry Corbin sarjana perancis ini mengkritisi pengklisifikasian doktrin Wahdat al-Wujud ke dalam monoisme panteisme dan istilah-istilah filsafat barat.

Dalam pandangan Burckhardt, panteisme menghilangkan perbedaan antara tuhan dan alam semesta dan mengacaukan pengertian tuhan sedangkan sufiisme dan wahdat al-wujud tetap mengakui perbedaannya. Nasr mengatakan doktrin tasawwuf tidak mengatakan bahwa tuhan adalah alam, tetapi bahwa alam dan tingkatannya yang real tidak dapat sama sekali lain dari tuhan jika alam adalah tuhan tentuia akan menjadi suatu realitas yang independen sepenuhnya, suatu tuhan bagi dirinya sendiri, dan menghancurkan kemutlakan dan keesaan yang hanya di milik oleh tuhan.

    Kontribusi dalam Ilmu keislaman

Bahwa Ibn al-Arabi menyamakan tuhan dengan alam sehingga tidak ada lagi perbedaan diantara kedua-duanya dan dengan demikian telah mengajarkan doktrin sesat, yang telah menyalahi ajaran tauhid yang murni, tidak dapat dibenarkan. Tuduhan seperti ini timbul dari kesalah pahaman orang-orang yang hanya melihat hanya sisi tanzih dan transendesi-Nya.

Doktrin wahdat al-wujud tidak dapat dipegang sebagai orang yang mmenyimpang dari ajaran tauhid. Sebaliknya, doktrin wahdat al—wujud adalah ekspresi tauhid yang paling tinggi, jika tidak boleh dikatakan sebagai satu-satunya bentuk tauhid yang benar. Dalam doktrin wahdat al-wujud tuhan betul-betul esa karena tidak ada wujud, yaitu wujud hakiki, kecuali tuhan : wujud hanya milik tuhan. Alam tidak mempunyai wujud kecuali sejauh berasal dari tuhan. Alam tidak lebih dari penampakannya.

Doktrin ini mengaku hanya satu wujud atau realita karena mengakui kedua jenis wujud atas realita yang sama sekali independen berarti memberikan tempat kepada syirik politeisme. Doktrin wahdat al-wujud Ibn al-arabi mempunyai posisi yang kuat karena, sebagaimana terlihat dalam karyanya, didukung oleh, atau sumber atau ayat ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW.

    Kesimpulan

Bebarapa butir kesimpulan dapat diambil dari uraian di atas adalah:

Ø  Terdapat perbedaan penafsiran tentang wahdat al-Wujud Ibn al-Arabi, sekelompok sarjana menafsirkan bahwa wahdat al-wujud menyamakan tuhan dengan alam dan dengan demikian menghilangkan perbedaan diantara keduanya

Ø  Dan para sarjana tidak sependapat dalam nemdefinisikan dan mengartikan istilah panteisme. Ada pendapat yang mendefinisikan bahwa panteisme adalah kepercayaan bahwa semuanya adalah tuhan dan tuhan adalah semuanya. Tuhan adalah alam dan alam adalah tuhan, dengan definisi ini, tuhan identik dengan alam. Imanensi tuhan ditekankan secara total, sedangkan tandensi_Nya tdak diakui.

Ø  Bahwa Ibn al-Arabi menyamakan tuhan dengan alam sehingga tidak ada lagi perbedaan diantara kedua-duanya dan dengan demikian telah mengajarkan doktrin sesat, yang telah menyalahi ajaran tauhid yang murni, tidak dapat dibenarkan. Tuduhan seperti ini timbul dari kesalah pahaman orang-orang yang hanya melihat hanya sisi tanzih dan transendesi-Nya.

Ø  Doktrin wahdat al-wujud tidak dapat dipegang sebagai orang yang mmenyimpang dari ajaran tauhid. Sebaliknya, doktrin wahdat al—wujud adalah ekspresi tauhid yang paling tinggi, jika tidak boleh dikatakan sebagai satu-satunya bentuk tauhid yang benar. Dalam doktrin wahdat al-wujud tuhan betul-betul esa karena tidak ada wujud, yaitu wujud hakiki, kecuali tuhan : wujud hanya milik tuhan. Alam tidak mempunyai wujud kecuali sejauh berasal dari tuhan. Alam tidak lebih dari penampakannya.

DAFTAR PUSTAKA

Alasdar Maclntyre, “Panteisme” The Ensyclopedia Of Philosophy, Diedit Oleh Paul Edwar, 8 Vol (New York: The Macmillan Company & The free Press, 1967

Endang Syaifudin anshari, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam Dan Umatnya, ( Bandung; Pustaka perpustakaan salman ITB, 1982) cetakan III

Hamka, Tasawuf, Perkembangan Dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984)

Harun Nasution, Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspek, 2 Jilid (Jakarta UI Press, 1979)

Ibrahim B. Madkur, Wahdat Al-Wujud Bayna Ibn Arabi Wa Spinoza,

Louis Leahyy, Manusia Di Hadapan Allah, Kosmos, Manusia, Dan Allah (Yogyakarta&Jakarta: Kanisius dan Gunung Mulia, 1986)

W.C. Chittik, “Rumi”

Yunasril Ali, Membersihkan Tasawuf Dari Syirik, Bid’ah Dan Khurafat (Jakarta:Pedoman Ilmu Jaya, 1987)

[1] Hamka, Tasawuf, Perkembangan Dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984) h. 156

[2] Yunasril Ali, Membersihkan Tasawuf Dari Syirik, Bid’ah Dan Khurafat (Jakarta:Pedoman Ilmu Jaya, 1987) h. 35

[3] Harun Nasution, Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspek, 2 Jilid (Jakarta UI Press, 1979) h. 88

12 Untuk buku-buku yang telah disebut, secara lengkap dapat dilihat dalam Stephen Hirtenstein, “Bacaan Lanjut”, ibid., hlm. 367-368.

[4]  Endang Syaifudin anshari, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam Dan Umatnya, ( Bandung; Pustaka perpustakaan salman ITB, 1982) cetakan III h. 132

[5] Ibrahim B. Madkur, Wahdat Al-Wujud Bayna Ibn Arabi Wa Spinoza, h 367-370

[6] Ibrahim B. Madkur, Wahdat Al-Wujud Bayna Ibn Arabi Wa Spinoza, h 367-370

[7] Ibrahim B. Madkur, Wahdat Al-Wujud Bayna Ibn Arabi Wa Spinoza, h 367-370

[8] Ibrahim B. Madkur, Wahdat Al-Wujud Bayna Ibn Arabi Wa Spinoza, h 367-370

[9]  W.C. Chittik, “Rumi” h 23

[10] W.C. Chittik, “Rumi” h 23

[11] W.C. Chittik, “Rumi” h 23

[12] Alasdar Maclntyre, “Panteisme” The Ensyclopedia Of Philosophy, Diedit Oleh Paul Edwar, 8 Vol (New York: The Macmillan Company & The free Press, 1967, h 589

[13] Alasdar Maclntyre, “Panteisme” The Ensyclopedia Of Philosophy, Diedit Oleh Paul Edwar, 8 Vol (New York: The Macmillan Company & The free Press, 1967, h 589

[14] Alasdar Maclntyre, “Panteisme” The Ensyclopedia Of Philosophy, Diedit Oleh Paul Edwar, 8 Vol (New York: The Macmillan Company & The free Press, 1967, h 589

[15]  Louis Leahyy, Manusia Di Hadapan Allah, Kosmos, Manusia, Dan Allah (Yogyakarta&Jakarta: Kanisius dan Gunung Mulia, 1986) h. 132

[16] Louis Leahyy, Manusia Di Hadapan Allah, Kosmos, Manusia, Dan Allah (Yogyakarta&Jakarta: Kanisius dan Gunung Mulia, 1986) h. 132

[17] Louis Leahyy, Manusia Di Hadapan Allah, Kosmos, Manusia, Dan Allah (Yogyakarta&Jakarta: Kanisius dan Gunung Mulia, 1986) h. 132
Read more » 0 komentar

SEJARAH PERADAPAN ISLAM MASA DEPAN ANTARA PELUANG DAN TANTANGAN

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam konteks sebagai muslim sekaligus sebagai warga Negara, gelisah merupakan hak sekaligus kewajiban. Ini adalah fitrah yang membawa arus perubahan dalam sejarah yang menjadi—semacam—dentuman yang “membahayakan”. Walau mesti diakui bahwa sering kali kegelisahan membawa pelakunya ke lubang “kematian” Dengan percaya diri—karena keyakinan dan tekad mengingatkan bahwa kita hadir sebagai umat Islam sekaligus sebagai warga Negara—dengan berbagai macam hak dan kewajibannya—memiliki potensi (baca: keunggulan) dan kelemahannya masing-masing, untuk mewujudkan satu kata dalam ruang nyata: perubahan. Perubahan adalah idiom sederhana, namun ia merupakan garansi untuk cita-cita masa depan; sebuah zaman dimana kita dan banyak orang ikut menghadirkannya dan bahkan hidup di dalamnya. Perubahan adalah suatu takdir sejarah yang akan dipergilirkan. Karena itu, kita tak perlu pesimis dengan perubahan selain ikut terlibat menghadirkannya.[1]
Dalam berbicara apa adanya mengenai Indonesia (Negara yang dihuni oleh berbagai latar manusia, tempat dimana kita tinggal kini), tentang Islam (sebuah sistem yang mengarahkan kehidupan kita, bagaimana semestinya kita mengeja kehidupan) dan tentang Peradaban Dunia (sebuah kenyataan (baca: sejarah) global yang kelak menjadi tempat sistem atau Islam yang kita yakini itu berjaya ria). Penulisnya seperti terinspirasi oleh gagasan Malik bin Nabi yang mengatakan bahwa peradaban (baca: masa depan) merupakan kisah mengenai tiga variabel utama: manusia, sistem dan sejarah. Buku ini ditulis dalam tiga tema besar itu, yang dengan bahasa lain penulisnya ‘memodelkannya’ ke dalam tiga pembahasan utama seputar Ke-Indonesia-an, Ke-Islam-an dan Peradaban Dunia (Islam).[2]
Dalam merenda masa depan yang lebih baik,  maka sebagai sebuah bangsa kita mesti mengkonkretkan beberapa kebutuhan, di antaranya: Pertama, model-model represi ideologis dan mobilitas politik yang keliru mesti dikikis habis. Kedua, menjaga masa depan ke-Indonesia-an adalah mengatasi krisis keadilan dan pemerataan. Ketiga, mengelola civil society secara proporsional dengan rumus kendali: pemberian otonomi secara proporsional dan pemberian kendali secara arif. Keempat, mengelola keragaman sikap primordial, agar tidak tersulut menjadi api separatis. Kelima, menjaga keutuhan peran kepemimpinan berdasarkan konstitusi dan mengelola secara matang kesinambungan regenerasi kepemimpinan bangsa. 

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Peradaban Islam: Peradaban Emas
1.      Tingginya Kemampuan Literasi.
Sebuah peradaban maju, termasuk peradaban Islam, tentu mencakup ruang-lingkup yang sangat luas. Kemajuan peradaban Islam masa lalu pun demikian.  Jika buku dianggap sebagai salah satu warisan sebuah peradaban yang gilang-gemilang maka peradaban Islam menjadi peradaban garda depan yang ditopang oleh buku. Di samping menjadi sumber inspirasi bagi kemajuan sebuah peradaban, buku juga menjadi ukuran sejauh mana sebuah peradaban dipandang maju. Para khalifah Islam pada masa lalu memahami benar hal ini. Pada abad ke-10, misalnya, di Andalusia saja terdapat 20 perpustakaan umum. [3]
Yang terkenal di antaranya adalah Perpustakaan Umum Cordova, yang saat itu memiliki tidak kurang dari 400 ribu judul buku. Ini termasuk jumlah yang luar biasa untuk ukuran zaman itu. Padahal empat abad setelahnya, dalam catatan Chatolique Encyclopedia, Perpustakaan Gereja Canterbury saja, yang terbilang paling lengkap pada abad ke-14, hanya miliki 1800 (1,8 ribu)  judul buku. Jumlah itu belum seberapa, apalagi jika dibandingkan dengan Perpustakaan Darul Hikmah di Kairo yang terkenal itu, yang mengoleksi tidak kurang 2 juta judul buku. [4]
Perpustakaan Umum Tripoli di Syam—yang pernah dibakar oleh Pasukan Salib Eropa—bahkan mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku, termasuk 50 ribu eksemplar al-Quran dan tafsirnya. Di Andalusia, pernah pula terdapat Perpustakaan al-Hakim yang menyimpan buku-bukunya di dalam 40 ruangan. Setiap ruangan berisi tidak kurang dari 18 ribu judul buku. Artinya, perpustakaan tersebut menyimpan sekitar 720 ribu judul buku.
Pada masa Kekhilafahan Islam yang cukup panjang, khususnya masa Kekhalifahan ‘Abbasiyyah, perpustakaan-perpustakaan semacam itu tersebar luas di berbagai wilayah Kekhilafahan, antara lain: Baghdad, Ram Hurmuz, Rayy (Raghes), Merv (daerah Khurasan), Bulkh, Bukhara (kota kelahiran Imam al-Bukhari), Ghazni, dsb. Lebih dari itu, hal yang lazim saat itu, di setiap masjid pasti terdapat perpustakaan yang terbuka untuk umum.[5]
Menggambarkan hal ini, Bloom dan Blair menyatakan,  “Rata-rata tingkat kemampuan literasi (kemampuan melek huruf membaca dan menulis Dunia Islam di abad pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa. Karya tulis ditemukan di setiap tempat dalam peradaban ini.” (Jonathan Bloom & Sheila Blair, Islam - A Thousand Years of Faith and Power, Yale University Press, London, 2002, p-105).
2.      Lahirnya Banyak Ilmuwan Besar dan Karya-karya Fenomenal Mereka.
Dari perpustakaan-perpustakaan itulah dimulainya penerjemahan buku-buku, yang dilanjutkan dengan pengkajian dan pengembangan atas isi buku-buku tersebut. Dari sini pula sesungguhnya dimulainya kelahiran para ilmuwan dan cendekiawan Muslim yang kemudian melahirkan karya-karya yang amat mengagumkan, yang mereka sumbangkan demi kemajuan peradaban Islam saat itu. Bahkan tokoh-tokoh seperti Ibn Sina (terkenal di Barat sebagai Aveciena), Ibn Miskawaih, Asy-Syabusti dan beberapa nama lain mengawali karirnya—sebagai cendekiawan dan ilmuwan Muslim—dari ‘profesi’-nya sebagai penjaga dan pengawas perpustakaan.[6] Ibn Sina, misalnya, adalah seorang pakar kedokteran. Ia meninggalkan sekitar 267 buku karyanya. Al-Qânûn fi al-Thibb adalah bukunya yang terkenal di bidang kedokteran.
Peradaban berhutang besar pada Islam. Islamlah—di tempat-tempat seperti Universitas Al-Azhar—yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad serta membuka jalan bagi era Kebangkitan Kembali dan era Pencerahan di Eropa. Inovasi dalam masyarakat Muslimlah yang mengembangkan urutan aljabar; kompas magnet dan alat navigasi; keahlian dalam menggunakan pena dan percetakan; dan pemahaman mengenai penularan penyakit serta pengobatannya. Budaya Islam telah memberi kita gerbang-gerbang yang megah dan puncak-puncak menara yang menjunjung tinggi; puisi-puisi yang tak lekang oleh waktu dan musik yang dihargai; kaligrafi yang anggun dan tempat-tempat untuk melakukan kontemplasi secara damai. Sepanjang sejarah, Islam telah menunjukkan melalui kata-kata dan perbuatan bahwa toleransi beragama dan persamaan ras adalah hal-hal yang mungkin[7] (http://jakarta.usembassy.gov.).
B.     Sisi lain Keagungan Peradaban Islam
Selain itu, setidaknya berdasarkan pengakuan Will Durant, kebesaran peradaban Islam juga tampak pada beberapa hal berikut:[8]
1.       Jaminan atas keamanan dunia.
Dalam hal ini, Will Durant jelas mengatakan: Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad. (Will Durant – The Story of Civilization).
2.       Menyatukan umat manusia.
Dalam hal ini, Will Durant terang mengakui: Agama Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan hingga Maroko dan Spanyol. Islam pun telah memiliki cita-cita mereka, menguasai akhlaknya, membentuk kehidupan­nya, dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan urusan kehidupan maupun kesusahan mereka. Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka sehingga jumlah orang yang memeluknya dan ber­pegang teguh padanya pada saat ini [1926] sekitar 350 juta jiwa. Agama Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hati­nya walaupun ada perbedaan  pendapat maupun  latar belakang politik di antara mereka. (Will Durant – The Story of Civilization).[9]
3.       Menciptakan kemajuan ekonomi.
Dalam hal ini, Will Durant pun jujur bertutur: Pada masa pemerintahan Abdurrahman III diperoleh pendapatan sebesar 12,045,000 dinar emas. Diduga kuat bahwa jumlah tersebut melebihi pendapatan pemerintahan negeri-negeri Masehi Latin jika digabungkan. Sumber pendapatan yang besar tersebut bukan berasal dari pajak yang tinggi, melainkan salah satu pengaruh dari pemerintahan yang baik serta kemajuan pertanian, industri, dan pesatnya aktivitas perdagangan (Will Durant – The Story of Civilization).
4.       Menjamin kesehatan masyarakat.
Dalam hal ini, Will Durant secara jelas juga menegaskan: Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya adalah al-Bimarustan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160, telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun (Will Durant – The Story of Civilization).
C.    Bukti-bukti Arkeologis Keagungan Peradaban Islam
Pada masa-masa ‘kemunduran’-nya pun, peradaban Islam tetaplah mengagumkan. Sejumlah dokumen di sejumlah museum di Turki adalah di antara saksi bisu keagungan peradaban Islam masa lalu. Kita tahu, Turki pada masa Khilafah Utsmaniah adalah saksi terakhir kemajuan peradaban Islam. Di Turki hingga hari ini, misalnya, ada sebuah masjid/museum terkenal bernama Aya Sofia. Di Aya Sofia dipamerkan surat-surat Khalifah  (“Usmans Fermans”) yang menunjukkan kehebatan Khilafah Utsmaniyah dalam memberikan jaminan, perlindungan dan kemakmuran kepada warganya maupun kepada orang asing pencari suaka, tanpa pandang agama mereka. Yang tertua adalah surat sertifikat tanah yang diberikan tahun 925 H (1519 M) kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kekejaman Inquisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia. Kemudian surat ucapan terima kasih dari Pemerintah Amerika Serikat atas bantuan pangan yang dikirim Khalifah ke Amerika Serikat yang sedang dilanda kelaparan (pasca perang dengan Inggris), abad 18. Lalu surat jaminan perlindungan kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia dan mencari eksil ke Khalifah, 30 Jumadil Awal 1121 H (7 Agustus 1709). Selanjutnya ada surat tertanggal 13 Rabiul Akhir 1282 H (5 September 1865 M) yang memberikan ijin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang telah beremigrasi ke Rusia namun ingin kembali ke wilayah Khilafah, karena di Rusia mereka justru tidak sejahtera. Yang paling mutakhir adalah peraturan yang membebaskan bea cukai barang bawaan orang-orang Rusia yang mencari eksil ke wilayah Utsmani pasca Revolusi Bolschewik, tertanggal 25 Desember 1920.[10]
Peradaban Islam juga tampak dari berbagai bangunan kuno yang saat ini masih bisa disaksikan di berbagai penjuru dunia. Kordoba sebagai ibukota Khilafah Umayah di Spanyol dibangun pada tahun 750 M. Ia menjadi pusat peradaban hingga 1258 M.  Kota tua Kordoba masih bisa kita saksikan sekarang. Sejak berdirinya, kota ini memiliki drainase yang bagus sehingga jalan-jalan tampak bersih dan asri. Ini adalah suatu teknologi sanitasi—yang Jakarta hari ini perlu iri.
Masjid Agung Kordoba, yang saat ini hanya tinggal sebagai museum, memiliki arsitektur yang sangat indah; sekaligus memiliki fungsi akustik sehingga meskipun saat itu belum ada alat pengeras suara elektronik, suara khatib bisa terdengar jelas hingga pojok-pojok masjid yang cukup besar. Tata ruang masjid juga ditambah dengan pola ventilasi yang luar biasa, yang menjamin cukupnya cahaya dan segarnya udara.[11]
Tidak jauh dari masjid terdapat Taman Alcazar yang sangat indah.  Mengingat Andalusia dikelilingi oleh tanah-tanah yang gersang maka keberadaan taman itu membuktikan sistem irigasi yang baik.  Irigasi memang salah satu teknologi yang diwariskan Islam.[12] Di banyak negeri Timur Tengah, masih dijumpai kincir untuk menaikkan air yang dibangun berabad-abad yang silam—dan kincir ini masih berfungsi!  Di beberapa kota gurun pasir juga masih dijumpai sistem distribusi air bawah tanah, yang disebut Qanat.
Dari sekian banyak bangunan fisik berusia tua di Istanbul, yang paling menarik tentu saja adalah masjid-masjid yang indah. Ikon Istanbul adalah masjid Sultan Ahmet, yang berhadapan dengan Aya Sofia.  Masjid ini dibangun pada Abad 16 dan satu-satunya masjid yang punya enam minaret.
Ketahanan bangunan ini terhadap gempa telah teruji.  Harus diingat bahwa Turki adalah wilayah pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu Eropa, Asia, dan Afrika-Mediteran. Wilayah ini sangat sering diguncang gempa hingga data pertanahan di sana harus terus-menerus di-update karena titik-titiknya akan selalu bergeser oleh dinamika bumi. Namun, masjid-masjid di Turki yang dibangun berabad-abad yang lalu terbukti bertahan hingga kini.
Bangunan bersejarah semacam ini berserakan di seluruh dunia, di tempat Islam pernah berkuasa. Di Cina juga terdapat banyak masjid berusia minimal 1000 tahun.  Di India, meski sejak masa penjajahan Inggris didominasi oleh warga beragama Hindu, sebagian besar bangunannya berarsitektur Islam; termasuk Tajmahal, sebuah bangunan mirip masjid yang sangat indah, padahal sebenarnya hanya makam.[13]
Beberapa bangunan tua masih memegang fungsi seperti saat didirikan dulu, sekalipun mengalami renovasi berkali-kali. Contohnya adalah berbagai masjid dan universitas di Mesir, Damaskus, atau Istanbul. Universitas al-Azhar di Mesir faktanya adalah universitas tertua di dunia!
Sebenarnya pendidikan islam mempunyai banyak bentuk peluang hal ini dikarenakan oleh berbagai macam faktor.
Pertama yakni dari segi tujuan, menurut imam Al-Ghozali, tujuan pendidikan islam mepuanyai dua hal. [14]
a.        Mengantarkan kesempurnaan manusia yang berujung pada taqarub ilallah.
b.        Mengantarkan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat.
Kedua yakni dari segi fungsi,setidaknya pendidikan islam setidaknya memiliki tiga fungsi yakni
a.       Menumbuhkembangkan (kapasitasfisik dan psikis) peserta didik ketingkat normative yang lebih baik.
b.       Melestarikan ajaran islam yang meliputi ibadah, muamalah, munakahah, dan jinayah
c.       Melestarikan kebudayaan dan peradaban selain dari apa yang telah tersebut di atas, sebenarnya pendidikan islam mempunyai peluang tang sangat luas.
Di zaman yang eperti sekarang ini. Sebut saja (era globalisasi) yang menurut macke marjinal. Globalisasi sangat mengancam umat manusia,dan apabila kita lihat lebih dekat globalosasi ialah suatu ke adaan yang ditandai oleh adanya penyatuan politik, ekonomi, social, imu pengetahuan, teknologi dan lain sebagainya.
Bagi umat islam era globalisasi sendiri ialah suaatu hal yang biasa,karena pada zaman klasik (abad ke-6 s.d. 13M) umat islam telah muali membangun hubangan-hubungan komonikasi, peradaban dan ilmu pengetahuan dengan Negara-negara lain. Tinggal bagaimana kita dalam menentukan sikap sebagai geberasi penerus atau sebagai pewaris, agar pendidikan islam mendapat peluang yang nantinyadapat diterima oleh umat manusia dan perkembanganya.
Setelah apa yang telah dipaparkan di atas, pendidikan mempunyai berbagai macam peluang.dikaranakanmasyarakat pada masa inimulai muncul kesadaran akan pentngnya sebuah pendidikan yang dapat menyelamatkan dirinya dalam proses kehidupan didunia dan akherat pada nantinya.
Serta munculya berbagai macam tuntutandari lapisan masyarakat akan pentingnya untuk melestairikan kebudayaan. Bila kita kaji dari tujuan,fungsi serta pengalaman yang cukuplama dalam penidikan islam. Kiranya pendidikan islam adalah satu-satumya yang akan dapat lebih bias diterima. Karena hal tersebut ialah yang sekarang dibutuhakan oleh masyarakat. seharusnya kitadapat masuk dalm ruangantersebut, sehingga pendidikan islamdapat berkembang dan pendapatkan respon yang baik dari masyarakat.namun dalam proses yang seperti itu selalu ada saja penyelewengan dan ketidaktahuan arti sesungguhnya sehingga yang awalnya ialah sebuah peluang akan dapat berubah menjadi sebuah ancaman atau emacam tantangan pendidikan islam.

BAB III
PENUTUP
  Kesimpulan
Sebuah peradaban maju, termasuk peradaban Islam, tentu mencakup ruang-lingkup yang sangat luas. Kemajuan peradaban Islam masa lalu pun demikian.  Jika buku dianggap sebagai salah satu warisan sebuah peradaban yang gilang-gemilang maka peradaban Islam menjadi peradaban garda depan yang ditopang oleh buku. Di samping menjadi sumber inspirasi bagi kemajuan sebuah peradaban, buku juga menjadi ukuran sejauh mana sebuah peradaban dipandang maju. Para khalifah Islam pada masa lalu memahami benar hal ini.
Berdasarkan pengakuan Will Durant, kebesaran peradaban Islam juga tampak pada beberapa hal berikut:
a.       Jaminan atas keamanan dunia.
b.      Menyatukan umat manusia.
c.       Menciptakan kemajuan ekonomi.
d.      Menjamin kesehatan masyarakat.
Sebenarnya pendidikan islam mempunyai banyak bentuk peluang hal ini dikarenakan oleh berbagai macam faktor.
Pertama yakni dari segi tujuan, menurut imam Al-Ghozali, tujuan pendidikan islam mepuanyai dua hal.
1.      Mengantarkan kesempurnaan manusia yang berujung pada taqarub ilallah.
2.      Mengantarkan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat.
Kedua yakni dari segi fungsi,setidaknya pendidikan islam setidaknya memiliki tiga fungsi yakni
1.      Menumbuhkembangkan (kapasitasfisik dan psikis) peserta didik ketingkat normative yang lebih baik.
2.      Melestarikan ajaran islam yang meliputi ibadah, muamalah, munakahah, dan jinayah
3.      Melestarikan kebudayaan dan peradaban selain dari apa yang telah tersebut di atas, sebenarnya pendidikan islam mempunyai peluang tang sangat luas.

DAFTAR PUSTAKA

Marshal Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia ,  pent. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Paramadina, 2004).
Sebut saja misalnya tulisan Hartono Ahmad Jaiz, Pemurtadan di IAIN, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005).
Karel A. Steenbrink, Pesantren,  Madrasah dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurkikulum Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994).
Dadi Darmadi, “IAIN dalam Wacana Intelektual  Islam  Indonesia”  Artikel Pilihan Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam  Departemen Agama RI. 




[1] Yatim badri, Sejarah Peradapan Islam Dirosah Islamiyah II, (Jakarta, raja grafindo:2006) hal. 3
[2] Shidiq Nouruzzaman, Pengantar Sejarah Muslim, (Yogyakarta, mentarai massa: 1989) hal 55
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/lahirnya-ilmuwan-besar
[8] Karel A. Steenbrink, Pesantren,  Madrasah dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurkikulum Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994).

[9]  Lapidus ira M, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Kesatu (Jakarta, logos wacana ilmu:1997)
[10]  A. Salabi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta, bulan bintang: 1973) hal. 23
[11]  A. Salabi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta, bulan bintang: 1973) hal 23
[12] A. Salabi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta, bulan bintang: 1973) hal 24
[13] A. Salabi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta, bulan bintang: 1973) hal 27
[14] Su’ud abu, Islamologi Sejarah, Ajaran Dan Perencanaannya Dalam Peradapan Umat Manusia, (jakarta, raja grapindo: 2006)
Read more » 0 komentar

MASYARAKAT MADANI (CIVIL SOCIETY)



BAB I

PENDAHULUAN

Masyarakat global saat ini secara serius dihadapkan pada pengaruh sistem nilai sekuler dan materiali. Semua lapisan masyarakat, baik orang tua, pendidik, agamawan kini tengah mengahdapi dilema besar dalam pendidikan, yaitu tentang bagaimana cara terbaik untuk mendidik generasi muda dan mempersiapkan mereka penghadapi tantangan global di masa mendatang. Dilema tentang bagaimana memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak-anak kita sekarang membutuhkan penilaian yang jujur tengtang pentingnya pendidikan pada era globalisasi ini. Salah sarana untuk mengakatualisasi diri adalah melalui pendidikan.[1]

Masalah pendidikan adalah merupakan masalah hidup dan kehidupan manusia. Proses pendidikan berada dan berkembang bersama proses perkembangan hidup dan kehidupan manusia, bahkan keduanya pada hakikatnya adalah proses yang satu. Ini berarti bahwa seluruh proses hidup dan kehidupan manusia itu adalah proses pendidikan.[2] Proses pendidikan manusia dilakukan selama kehidupan manusia itu sendiri, mulai dari alam kandungan sampai lahir di dunia manusia telah melalui proses pendidikan, hal ini menunjukan pentingnya pendidikan untuk meningkat kemulian diri manusia itu sendiri. Sebagaimana Allah SWT telah jelaskan dalam firman-Nya yang berbunyi:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ . خَلَقَ الإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ . اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ {3} الَّذِي عَلَّمَ ابِالْقَلَمِ . عَلَّمَ اْلإِنسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ .

Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-‘alaq: 1-5)[3]

Agar umat manusia mengetahu tentang kebesaran Allah SWT maka melalui belajarlah kita bisa memahami dari kebesaran penciptaan dan kekuasaan Allah SWT. Dengan perantaran pendidikan manusia akan dimuliakan oleh Allah SWT dalam kehidupannya. Nabi Adam as mulia karena dia belajar langsung kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya yang berbunyi:

وَعَلَّمَ ءَادَمَ الأَسْمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَآءِ هَؤُلآءِ إِن كُنتُم صَادِقِينَ

Artinya: Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar. (QS. al-Baqarah: 31)[4]

Ayat ini menunjukan kepada kita bahwa belajar dan menuntut ilmu itu sangat penting sehingga kita banyak mengetahui sesuatu yang benar. Para Malaikat tidak bisa menjawab pertanyaan dari Allah SWT karena mereka tidak mendapat proses pendidikan dari Allah SWT, berbeda dengan Nabi Adam as yang bisa menjawab pertanyaan dari Allah SWT karena telah diajarkan kepadanya. Disinilah letak pentingnya pendidikan bagi umat manusia.

Al-Qur’an sebagai petunju, pembeda, penjelas dan juga syifa’ ma fis shudur (obat dari penyakit yang ada dalam dada) pasti berbicara tentang pendidikan. Pendidikan menyangkut kebutuhan hakiki seseorang. Ajaran yang bersifat universal tidak mungkin secara operasional dan mendetail memperbincangkan pendidikan yang amat mendasar ini (Imam Suprayogo, 2004:7). Berbicara tentang pendidikan, fokusnya selalu berkenaan dengan persoalan anak, sosok manusia yang dicintai, disayangi, dan generasi yang masa depannya harus dipersiapkan. Dalam makalah ini, penulis mencoba akan membahas tentang pentingnya pendidikan baik kita tinjau dari pandangan al-Qur’an maupun hadits yang membicarakan tetang penting pendidikan untuk kehidupan umat manusia menuju pintu kemuliaan.

Islam bermula dari pendidikan dan puncak keberhasilannya juga berupa berkembangnya pendidikan. Di dalam wahyu pertama yang diturunkan kepada Rosululloh, bertebaran istilah yang merupakan unsur esensi bagi pendidikan: iqro’,Rabb, insaan, ‘allama, dan qalam. Istilah Rabb menjadi sumber dalam aspek pendidikan Islam, sehingga pendidikan yang dilahirkan oleh ajaran Islam adalah pendidikan yang mengacu kepada kebenaran Allah, Rabb semesta alam (Tarbiyah Rabbaniyah).

Inilah konsep dasar pendidikan Islam yang terus-menerus disosialisasikan Rasulullah SAW dengan berbagai aspek yang menunjangnya. Dan konsep ini pulalah yang seharusnya melandasi setiap proses pendidikan di dunia kaum muslimin hingga detik ini.

Bagaimanakah sistem pendidikan masyarakat modern kini ? Tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan masyarakat modern kini jauh dari hakekat pendidikan Islam. Pendidikan modern memang melibatkan sarana-sarana yang hebat dan canggih namun bukan berarti tanpa kelemahan. Tidak dipungkiri kemajuan manusia di bidang iptek melonjak jauh. Hampir disemua lini tersentuh teknologi mutakhir. Namun dari pendidikan modern ini kita tidak menemukan kesempurnaan akhlak dan ruhani. Fenomena-fenomena yang kita temukan adalah penindasan antar manusia dan merosotnya moral.

Tampaknya, tujuan pendidikan modern adalah tercapainya tujuan material yang berkembang menjadi rasa cinta terhadap pekerjaan dan produksi dengan mengesampingkan nilai-nilai dan norma-norma kemasyarakatan. Sehingga sekolah-sekolah modern telah mengalami kemerosotan mutu pada setiap skala dalam dua dimensi, yaitu dimensi syar’iyyah dan dimensi ilmiyah paedagogis. Artinya, sekolah-sekolah itu bukan sekedar tidak islami tapi juga tidak mampu berfungsi sebagai salah satu sarana pendidikan.

Karena problem serius inilah umat Islam perlu segera mengembalikan orientasi sistem pendidikannya, yaitu pendidikan dan pembinaan Islam yang dilaksanakan dalam konteks kehidupan modern. Untuk mengatur kembali iptek dan menggunakannya bagi manfaat manusia dan kehidupan secara luas, dan yang lebih penting lagi, untuk mengembalikan penghambaan manusia hanya kepada Allah semata.

BAB II

PEMBAHASAN

    Konsep Pendidikan Masyarakat

Konsep Pendidikan Masyarakat adalah dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat (Sihombing, U. 2001). Dari konsep di atas dapat dinyatakan bahwa PBM adalah pendidikan yang dikelola oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek Pendidikan Masyarakat tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan masyarakat.

Dengan demikian tenaga pendidikan (pihak-pihak terkait) harus melakukan akuntabilitas (pertanggungjawaban) kepada masyarakat. Menurut Sagala, S., 2004 akuntabilitas dapat mengembangkan persatuan bangsa serta menjawab kebutuhan akan pendidikan bagi masyarakat. Pengembangan akuntabilitas terhadap masyarakat akan menumbuhkan inovasi dan otonomi dan menjadikan pendidikan berbasis pada masyarakat (community based education).

Untuk mewujudkan output pendidikan yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dibutuhkan pendidikan yang bermutu. Apabila kita lihat mutu pendidikan di negara kita saat ini masih menghadapi beberapa problematika. Beberapa problem mengenai mutu pendidikan kita seperti yang diungkapkan DR. Arief Rahman dalam Mukhlishah, 2002 adalah : 1). Pembiasaaan atau penyimpangan arah pendidikan dari tujuan pokoknya. 2). Malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran. Dan 3). Pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar.

Sedangkan menurut Surya, M., 2002 salah satu problematika pendidikan di Indonesia adalah keterbatasan anggaran dan sarana pendidikan, sehingga kinerja pendidikan tidak berjalan dengan optimal.

Persoalan tersebut menjadi lebih komplek jika kita kaitkan dengan penumpukan lulusan karena tidak terserap oleh masyarakat atau dunia kerja karena rendahnya kompetensi mereka. Mutu dan hasil pendidikan tidak memenuhui harapan dan kebutuhan masyarakat atau mempunyai daya saing yang rendah. Pendidikan berjalan di luar alam sosial budaya masyarakatnya, sehingga segala yang ditanamkan (dilatensikan) melalui proses pendidikan merupakan hal-hal yang tidak bersentuhan dengan persoalan kehidupan nyata yang dihadapi masyarakat tersebut.

Implikasinya adalah terputus mata rantai budaya sosial antara satu generasi dengan generasi berikutnya. Generasi yang lebih muda menjadi tidak mampu mewarisi dan mengembangkan bangunan budaya sosial yang dikonstruksi oleh generasi pendahulunya, bahkan tidak mampu mengapresiasi dan seringkali berperilaku yang cenderung berakibat mengenyahkannya. Generasi seperti ini cenderung hanya mampu melihat kekurangan-kekurangan pendahulunya, tanpa menawarkan jalan keluar dan penyelesaiannya. Kisah yang sangat biasa bagi orang pribumi yang kaya raya dari hasil usaha dan bisnisnya, anak mereka menghancurkan perusahaan dan menghabiskan kekayaan untuk berfoya-foya.

Hal seperti ini tidak terjadi pada tradisi etnis tionghoa, dimana yang kaya akan menjadi lebih kaya karena putra-putrinya dipersiapkan untuk menjadi pewaris yang mampu mengembangkan bisnis yang dirintis oleh kedua orang tuanya. Misalnya dengan membiasakan anaknya magang di setiap outlet orang tua dan memperoleh perlakuan seperti layaknya pegawai, dengan demikian mereka mempunyai akselerasi belajar yang jauh lebih tinggi karena segala pelajaran yang diperoleh di sekolah memperoleh penguatan melalui aktivitas praktis yang dijalaninya.

Sementara itu kita juga tengah menghadapi era globalisasi yang ditandai dengan disepakatinya kawasan perdagangan bebas. Sejak 1 Januari 2003 secara Internasional dimulai AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area). Akibatnya terjadi perubahan pada berbagai bidang kehidupan, baik politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, demografi, Sumber Daya Alam, dan geografi yang akan berpengaruh pada skala global, regional dan nasional.

Secara global dapat dilihat dengan adanya terorisme, runtuhnya tembok Berlin, narkoba. Secara regional dapat dilihat dengan maraknya narkoba, terorisme, TKI, sipida ligitan. Secara Nasional dapat kita lihat dengan banyaknya pengangguran, kemiskinan, narkoba, pariwisata, dan demokrasi. Dengan demikian pendidikan harus secara akif berperan mengatasi dampak negatif dari era globalisasi dan mempersiapkan Sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang mampu bersaing dengan SDM dari negara lain.

Terobosan yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mencanangkan Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi / KBK). Dengan kurikulum ini materi pelajaran ditentukan oleh sekolah berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pusat hanya menetapkan materi pokok (esensial). Target guru tidak untuk menyampaikan semua materi pelajaran tetapi memberikan pengalaman belajar untuk mencapai kompetensi dan berfokus pada aspek kognitif, psikomotor dan afektif (Sudjatmiko dan Nurlaili, L., 2004). Oleh karena itu dengan melaksanakan KBK secara optimal diharapkan output pendidikan dapat sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat sebagai akuntabilitas pendidikan kepada masyarakat sesuai dengan konsep Pendidikan Masyarakat.

Sejalan dengan dicanangkannya KBK, pemerintah juga melakukan pembaharuan manajemen sekolah dengan mengeluarkan kebijakan agar sekolah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS adalah model manajemen yang memberikan keleluasaan / kewenangan kepada sekolah untuk mengelola sekolahnya sendiri dengan meningkatkan keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah dengan tetap memperhatikan standar pendidikan nasional (Irawan, A., 2004). MBS merupakan salah satu pendidikan berbasis masyarakat yang dilaksanakan dalam pendidikan formal.

Pendidikan kita selama ini memandang sekolah sebagai tempat untuk menyerahkan anak didik sepenuhnya. Sekolah dianggap sebagai tempat segala ilmu pengetahuan dan diajarkan kepada anak didik. Cara pandang ini sangat keliru mengingat sistem pendidikan juga harus dikembangkan di keluarga. Sekolah hanyalah sebagai instrumen untuk memperluas cakupan dan memperdalam intensitas penanaman cita-cita sosial budaya yang tidak mungkin lagi dikembangkan melalui mekanisme keluarga (Mukhlishah, 2002).

Memulai kembali menata pendidikan dengan mempertahankan fungsi keluarga dan masyarakat sebagau basis pendidikan di sekolah bukan lagi ide untuk masa depan tetapi menjadi tuntutan yang sangat mendesak. Upaya ini akan menjadi cara untuk mengembalikan sistem pendidikan kita kepada hakekat pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan yang hakiki adalah suatu langkah prosedural yang bertujuan untuk melatenkan kemampuan sosial budaya berupa program-program kolektif alam pikir, alam rasa, dan tradisi tindak manusia ke dalam pribadi dan kelompok manusia muda agar mereka siap menghadapi segala kemungkinan yang timbul di masa datang.[5]

Karena itu diperlukan partisipasi semua elemen (stakeholder) terutama orang tua dan masyarakat. Untuk mengoptimalkan peran masyarakat dalam peningkatan mutu pendidikan perlu dikembangkan model pendidikan berbasis masyarakat, di mana proses pendidikan tidak terlepas dari masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai basis keseluruhan kegiatan pendidikan. Semua potensi yang ada di masyarakat apabila dapat diberdayakan secara sistemik, sinergik dan simbiotik, melalui proses yang konsepsional, dapat dijadikan sebagai upaya yang strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Menurut Darwin rahardjo dalam Surya, M., 2002 masyarakat modern mempunyai tiga sektor yang saling berinteraksi yaitu sektor pemerintah, dunia usaha dan sektor sukarela (LSM). Ketiga sektor masyarakat tersebut harus mempunyai posisi tawar menawar dan kemandirian sehingga menghasilkan kerjasama yang sinergik dan simbiotik dalam mencapai tujuan bersama. Hal tersebut dapat dijadikan kerangka berfikir dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam satu gugus sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan.

    Petunjuk Al-Qur’an dan Hadits

Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life, dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehiduan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam. Karena itu, pandangan hidup yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup seseorang harus bisa mendatangkan berkah, yakni nilai tambah, kenikmatan, dan kebahagian dalam hidup.

Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk membangun dan meningkat mutu SDM menuju era globalisasi yang penuh dengan tantangan sehingga disadari bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang sangat fundamental bagi setiap individu. Oleh karena itu, kagiatan pendidikan tidak dapat diabaikan begitu saja, terutama dalam memasuki era persaingan yang semakin ketat, tajam, berat pada abad millennium ini. [6]Dalam Islam menuntut ilmu itu wajib hukumnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw dalam hadits yang berbunyai:

أُطلُبُ العِلمِ فَرِيضةٌ على كل مُسلمٍ والمسلمةٍ

Artinya: Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuaan (al-Hadits)

Berdasarkan hadits tersebut, bahwa menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim. Disamping diwajibkan menuntut ilmu, hadits tersebut juga memberikan pelajaran kepada umat Islam tentang pentingnya pendidikan untuk kemulian hidupnya. Pendidikan merupakan salah proses untuk meningkat dan mendekatkan diri kepada sang pencipta yaitu Allah SWT. Dengan pendidikan manusia lebih mulia dan terhormat dipandangan Allah SWT dan lebih mulia dari pada mahkluk ciptaan-Nya yang lain. Pendidikan merupakan usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat.

Secara alamiah, manusia sejak dalam rahim ibu sampai meninggal dunia mengalami proses pertumbuhan dan berkembang tahap demi tahap. Begitu pula kejadian alam semesta ini diciptakan oleh Allah SWT dalam proses tingkat demi tingkat. Dengan demikian, pendidikan dapat dikatakan sebagai sarana utama untuk mengembangkan kepribadian setiap manusia dalam usaha manusia melestarikan hidupnya (Djumransjah, Abdul Malik Karim Amrullah: 2007: 12).

Pentingnya pendidikan telah diungkapkan beberapa tokoh pendidikan Islam yang mengacu kepada definisi pendidikan Islam, yaitu: Pertama: Abdurrahman al-Nahlawi mengemukakan bahwa pendidikan Islam merupakan suatu tuntutan dan kebutuhan mutlak umat manusia, karena (a) untuk menyelamatkan anak-anak di dalam tubuh umat manusia pada umumnya dari ancaman (Fathiyyah Hasan Sulaiman, 1986: 19). Kedua: Dr. Muhammad Fadil al-Jamaly (Guru Besar Pendidikan di universitas Tunisia) mengatakan bahwa pendidikan adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan yang mengangkat derajat kemanusiaannya, sesuai dengan kemampuan dasar atau fitrah dan kemampuaan ajarannya (pengaruh dari luar). Esensi pendidikan yang harus dilaksankan umat Islam menurut beliau adalah pendidikan yang memimpin manusia kea rah akhlak mulia dengan memberikan kesempatan keterbukaan terhadap pengaruh dari dunai luar dan perkembangan dari dalam diri manusia yang merupakan kemampuan dasar yang dilandasi oleh keimanan kepada Allah SWT. Pandangan beliau ini didasarkan pada firman Allah SWT yang berbunyi:

وَاللهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَتَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. an-Nahl: 78)[7]

Firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 78 tersebut mengindikasikan kepada kita bahwa ketika kita dilahirkan tidak mengetahui sesuatupun. Maka Allah ciptakan pada diri manusia pendengaran, penglihatan dan hati, ini semua untuk membantu manusia dalam proses pendidikan. Tanpa melalui pendidikan manusia tidak mengetahui apa-apa. Dengan pendidikanlah manusia bisa mengetahui tentang segala sesuatu terutama tentang kebesaran Allah SWT. Pendidikan anak merupakan tanggung jawab orang tuanya. Memberikan pengertian pentinganya pendidikan merupakan keharusan orang tua tatkala proses pendidikan dalam keluarga.

Pendidik dalam padangan Islam secara umum adalah mendidik, yaitu mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi psikomotorik, kognitif, maupun potensi afektifnya. Potensi ini harus dikembangkan secara seimbang sampai ke tingkat setinggi mungkin, menurut ajaran Islam (Ahmad Tafsir, 2007: 74). Maka inilah tugas orang tua tersebut berdasarkan firman Allah dalam surat al-Tahriim ayat 06 tersebut di atas. Salah satu cara untuk menumbuhkembangkan potensi yang dimiliki anak adalah melalui pendidikan. Disinilah pentingnya pendidikan bagi umat manusia.

Dalam pandangan penulis, bahwa pada awalnya pendidikan merupakan murni tugas kedua orang tua, sehingga kedua orang tua tidak perlu mengirim anaknya ke sekolah, akan tetapi karena perkembangan ilmu pengetahun, keterampilan, sikap serta kebutuhan hidup sudah semakin luas, dalam, dan rumit, maka orang tua tidak mampu lagi melaksanakan sendiri tugas-tugas mendidik anaknya. Sekalipun demikian, secara teoritis seharusnya rumah tangga dan sekolah tetap menyadari sejarah pendidikan tersebut. Pengaruh pendidikan di dalam rumah tangga terhadap perkembangan anak memang sangat besar, mendasar dan mendalam.

Marimba (1989: 19) menyatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (Ahmad Tafsir, 2007: 76). Dari pendapat Marimba tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa pentingnya pendidikan adalah untuk menumbuhkembangan potensi jasmani dan rohani yang dimiliki manusia demi terwujudnya manusia yang memiliki kepribadian-kepribadian yang utama dalam istilah agamanya adalah Insan Kamil dan menjadi hamba Allah SWT yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya.

Dalam teori pendidikan lama, yang dikemukan oleh dunia Barat, dikatakan bahwa perkembangan seseorang hanya dipengaruhi oleh pembawaan (nativisme). Sebagai lawannya berkembang pula teori yang mengajarkan bahwa perkembangan seseorang ditentukan oleh lingkungannya (empirisme). Sedangkan Islam memandang bahwa perkembangan seeorang ditentukan oleh pembawaan dan lingkungannya, hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw yang berbunyi:

كُلُ مَولودٍ يولدُ على الفطرةِ فَاَبَوَاهُ يُهودانِه او يُنصرَانِهِ أَويمجسانِهِ (البخار ومسلم)

Artinya: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. (HR. Bukhari dan Muslim)[8]

Dalam analisis penulis, berdasarkan hadits Rasulullah saw tersebut, bahwa sejak lahir manusia dalam keadaan fitrah atau telah membawa kemampuan-kemampuan dasar atau dengan istilah sekarang disebut dengan potensi. Fitrah atau kemampuan dasar tersebut harus ditumbuhkembangkan dengan baik sesuai dengan fitrah dasarnya. Salah satu cara untuk menumbuhkembangn fitrah atau potensi tersebut yang paling efektif adalah melalui pendidikan. Sehingga hadits tersebut menjelaskan begitu pentingnya pendidikan bagi manusia untuk menumbuhkembangkan fitrah atau potensi yang dimilikinya yang telah dibawa sejak manusia itu sendiri lahir. Walaupun tanpa pendidikan, fitrah atau potensi itu bisa berkembang, namun perkembangannya tidak sesuai dengan nilai-nilai dari ajaran Islam. Pendidikan mengarahkan bagaimana seharusnya fitrah atau potensi itu harus diarahkan dan ditumbuhkembangkan.

Para ahli pendidikan Islam telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi maksudnya ialah mendidik ahklak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadilah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas dan jujur. Maka tujuan pokok pendidikan Islam ialah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa (M. Athiyah al-Abrasyi, 1987: 1).

Islam adalah agama ilmu dan cahaya, bukanlah suatu agama kebodohan dan kegelapan. Wahyu yang pertama-tama diturunkan mengandung perintah membaca kepada Rasulullah saw. Pengulangan atas perintah tersebut dan penyebutan kembali mengenai masalah ilmu dan pendidikan itu, dapat kita rasakan menghubungkan soal pendidikan. Proses belajar dan mambaca hanya banyak dilakukan tetkala manusia melakukan proses pendidikan. Sehingga dengan banyak membaca, manusia lebih dekat dengan Allah SWT dan banyak mengetahui tentang ciptaan-Nya terutama tentang proses penciptaan alam semesta ini. Pendidikan merupakan salah media yang paling utama untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT karena inti pendidikan itu adalah mendekatkan diri kepada-Nya. Namun, kebanyakan dari umat manusia tidak mengetahu hakikat dari penting pendidikan itu, sehingga mereka sering mengabaikan pendidikan pada anaknya.

Manusia sebagai mahluk biologis memiliki unsur mekanisme jasmani yang membutuhkan kebutuhan-kebutuhan lahiriyah, misalnya sandang, pangan dan papan dan kebutuhan biologisnya lainnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dipenuhi secara layak, dan salah satu di antara persiapan untuk memenuhinya yang layak adalah melalui pendidikan. Dengan pendidikan, pengalaman dan pengetahuan seseorang dapat bertambah dan dapat menentukan kualitas dan kuantitas kerjanya.

Pendidikan berusaha mengembangkan potensi individu agar mampu berdiri sendiri, untuk itu individu perlu diberi berbagai kemampuan dalam pengembangan berbagai hal, seperti komsep, prinsip, kreaktivitas, tanggung jawab, dan keterampilan. Dengan kata lain perlu perlu mengalami perkembangan dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Demikian juga individu juga makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan lingkungan sesamanya. Objek sosial ini akan berpengaruh terhadap perkembangan individu. Melalui pendidikan dapat dikembangkan suatu keadaan yang seimbang antara perkembangan aspek individual dan aspek social (Dr. Nanang Fattah, 2008: 5). Dalam Al-qur’an surat Al-khujirot ayat 10-13 Sebagai berikut:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ {10} يَاأّيُّهَا الّذِينَ ءَامَنُوا لاَيَسْخَرْ قَوْمُُ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلاَنِسَآءُُ مِّن نِّسَآءٍ عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلاَتَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلاَتَنَابَزُوا بِاْلأَلْقَابِ بِئْسَ اْلإِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ اْلإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ {11} يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمُُ وَلاَتَجَسَّسُوا وَلاَيَغْتَب بَّعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابُُ رَّحِيمُُ {12} يَآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS. 49:10). Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan)dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. 49:11). Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain.Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. 49:12). Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. 49:13.)[9]

Dalam analisis dan pengamatan penulis, pendidikan merupakan proses dimana seseorang memperoleh pengetahuan (knowledge acquisition), mengembangkan kemampuan/keterampilan (skills developments) sikap atau mengubah sikap (attitute of change). Pendidikan adalah suatu proses transpormasi anak didik agar mencapai hal-hal tertentu sebagai akibat dari proses pendidikan yang diikutinya. Sebagai bagian dari masyarakat, pendidikan memiliki fungsi ganda, yaitu fungsi sosial dan fungsi individual. Fungsi sosialnya untuk membantu setiap individu menjadi anggota masyarakat yang lebih efektif dengan memberikan pengalaman kolektif masa lalu dan sekarang, sedangkan fungsi individualnya untuk memungkin seseorang menempuh hidup yang lebih memuaskan dan lebih produktif dengan menyiapkannya untuk menghadapi masa depan. Fungsi tersebut dapat dilakukan secara formal seperti yang terjadi di lembaga pendidikan, maupun informal melalui berbagai kontak dengan media informasi seperti buku, surat kabar, majalah. Tv, radio dan lain sebagainya.

Dari penjelasan di atas maka tujuan pendidikan dalam pandangan Islam harus mampu menciptakan manusia yang berilmu pengetahuan yang tinggi, dimana iman dan takwa menjadi menjadi pengendali dalam pengamalan ilmunya di masyarakat. Manusia muslim yang dihasilkan oleh proses kependidikan Islam harus mampu mencari cara-cara hidup yang dapat membawa kebahagian hidup di dunia maupun di akhirat yang bercorak diri dan berderajat tinggi menurut ukuran Allah. Manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi, untuk menjalankan kepemimpinannya, manusia harus memiliki pengetahuan untuk membantu dirinya dalam mengelola alam semesta ini. Hidup di dunia maupun bekal di akhirat nanti harus berilmu, sebagaimana sabda Rasulullah saw yang berbunyi:

مَن أَرَادَ الدنيَا فَعَلَيهِ بِالعِلم وَمَن أَرَادَ الاخِرَةَ فَعليهَ بِالعلمَ وَمَن أَرَادَهُما فَعليهَ بالعلمِ

Artinya: Barangsiapa yang menginginkan (kebahagian) hidup di dunia maka hendaklah ia berilmu, dan barangsiapa yang meninginkan (kebahagian) hidup di akhirat maka hendaklah ia berilmu, dan barangsiapa yang menhendaki kedua-keduanya maka hendaklah ia berilmu.[10]

Hadits tersebut memberikan pembelajaran kepada kita umat Islam agar memiliki ilmu pengetahuan baik ilmu pengatahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum. Hadits Rasulullah saw tersebut, dalam pandangan penulis menjelaskan tentang pentingnya pendidikan bagi umat manusia. Ilmu pengetahuan merupakan bekal kita untuk hidup di dunia dan akhirat. Tujuan dari proses pendidikan adalah untuk kesempurnaan dan kemulian manusia itu sendiri.

Dihadapan Allah, orang yang menuntut ilmu sangat mulia. Apabila para pencari ilmu meninggal ketika dalam proses  pendidikan atau pencaraian ilmu, mereka adalah mati dalam keadaan syahid. Begitu mulianya orang memiliki ilmu dihadapan Allah SWT yang pemberi ilmu. Orang tua memilik peran yang penting untuk memahamkan pentingnya pendidikan demi kelangsungan hidup manusia.

Perumusan tujuan pendidikan Islam harus berorientasi pada hakikat pendidikan yang meliputi beberapa aspek, misalnya tentang pertama, tujuan dan tugas hidup manusia. Manusia hidup bukan karena kebetulan dan sia-sia. Ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas tertentu. Tujuan diciptakan manusia adalah hanya untuk mengabdi kepada Allah SWT (Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, 2006: 71).

Dalam proses pendidikan, tujuan akhir merupakan kristalisasi nilai-nilai yang ingin diwujudkan dalam pribadi peserta didik. Dalam ayat tersebut, Allah meninggi derajat orang yang berilmu dari yang lainnya. Mereka memiliki kemulian disisi Allah SWT. Tujuan akhir dari pentingnay pendidikan harus lengkap mencakup semua aspek, serta terintegrasi dalam pola kepribadain ideal yang bulat dan utuh. Tujuan akhir mengandung nilai-nilai Islami dalam segala aspeknya. Dari semua penjelasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan adalah sebagai alat untuk memilihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial serta ide-ide masyarakat dan bangsa. Pendidikan juga sebagai alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara garis besarnya memalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan keseimbangan perubahan sosial dan ekonomi. Namun dalam pandangan Imam al-Ghazali, tujuan akhir pendidikan adalah berahklak mulia dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, itulah tujuan terpenting dari pentingnya pendidikan itu dilakukan.

    Urgensi kajian Ini dalam Pendidikan

Salah satu keutamaan Al-Islam bagi umat manusia adalah adanya sistem yang paripurna dan konsisten di dalam membina mental, melahirkan generasi, membina umat dan budaya, serta memberlakukan prinsip-prinsip kemuliaaan dan peradaban. Semua itu dimaksudkan untuk merubah manusia dari kegelapan syirik, kebodohan, kesesatan dan kekacauan menuju cahaya tauhid, ilmu, hidayah dan kemantapan.

Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Alloh, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Alloh menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan-jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Alloh mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seidzin-Nya menunjuki mereka ke jalan yang lurus . (Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir , 5:1516).

Kesempurnaan sistem Islam tersebut terlihat pula dalam sistem pendidikan Rasulullah dalam mendidik para shahabat yang telah menghasilkan generasi yang tak ada duanya. Generasi yang disebut-sebut sebagai generasi terbaik yang pernah muncul di muka bumi ini. Tak ada yang mampu menandinginya baik sebelum dan sesudah generasi shahabat tersebut.

Namun bukan berarti sepeninggal Rasulullah, kita tak akan merasakan dan tak mampu melaksanakan pendidikan Islam. Sebab beliau telah meninggalkan dua kurikulum yang dapat kita pakai acuan dalam mendidik manusia yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Pendidkan Islam bertujuan menumbuhkan keseimbangan pada kepribadian manusia , sedangkan tujuan akhir pendidikan Islam adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Alloh, pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya. Oleh karena itu Islam memandang, kegiatan pendidikan merupakan satu-kesatuan integral yang melibatkan seluruh aspek kehidupan manusia. Ia harus berjalan harmoni dan seimbang serta menjadi tanggung jawab manusia secara keseluruhan dalam melahirkan kehidupan yang sehat, bersih dan benar (Islam).

Karakteristik Sistem Pendidikan Islam sebagai satu mata rantai dari Syariat Islam, memiliki ciri khusus yang sama dengan kekhususan Al Islam sendiri, yaitu syamil-kamil-mutakamil (sistem yang integral-sempurna-dan menyempurnakan). Integralitas sistem pendidikan Islam ini secara garis besar mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, yang secara garis besar adalah :

    Pendidikan Keimanan (aqidah)

Yang dimaksud dengan pendidikan iman adalah mengikat individu dengan dasar-dasar iman, rukun Islam dan dasar-dasar syari’ah Islamiyah. Metode pendidikan ini adalah menumbuhkan pemahaman terhadap dasar-dasar keimanan dan ajaran Islam yang bersandarkan pada wasiat-wasiat Rosululloh saw. dan petunjuknya.

    Pendidikan Moral (Akhlaq)

Maksud pendidikan moral adalah pendidikan mengenai dasar-dasar moral dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh individu sejak masa analisa hingga ia menjadi seorang mukallaf, pemuda yang mengarungi lautan kehidupan. Tidak diragukan lagi bahwa keutamaan-keutamaan moral, perangai dan tabiat merupakan salah satu buah iman yang mendalam, dan perkembangan religius yang benar.

    Pendidikan Fisik

Pendidikan Islam sangat memperhatikan fisik tiap-tiap muslim. Apabila kita bicara tentang fisik dalam pendidikan, yang dimaksud bukan hanya otot-ototnya, panca inderanya dan kelenjar-kelenjarnya, tetapi juga potensi energik yang muncul dari fisik dan terungkap melalui perasaan.

Islam mendidik umatnya dengan memberikan rangsangan yang baik sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw. : “ Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai daripada mukmin yang lemah.” Islam juga mengajarkan aturan -aturan yang sehat dalam makan, minum, dan tidur. Mendidik untuk menjaga kesehatannya, dengan selalu menganjurkan olah raga dan menjauhkan diri dari penyebab-penyebab kelemahan.

    Pendidikan intelektual

Maksud pendidikan intelektual adalah pembentukan dan pembinaan berpikir individu dengan segala sesuatu yang bermanfaat, ilmu pengetahuan, hukum, peradaban ilmiah dan modernisme serta kesadaran berpikir dan berbudaya. dengan demikian ilmu, rasio dan peradaban individu tersebut benar-benar dapat dibina.

Akal adalah kekuatan manusia yang paling besar dan merupakan pemberian Allah yang paling berharga. Dan al-Qur’an memberikan perhatian yang sangat besar terhadap perkembangan akal ini. Al-Qur’an mendidik akal dengan begitu banyak ayat-ayat alam semesta untuk jadi bahan perenungan. Tapi bukan perenungan itu yang menjadi tujuannya, melainkan mendidik akal agar cermat, cerdas dan akurat dalam berpikir dan bersikap serta menempuh jalan hidup.

    Pendidikan Psikhis

Maksud pendidikan psikhis adalah mendidik individu supaya bersikap berani, berterus terang, merasa sempurna, suka berbuat baik terhadap orang lain, menahan diri ketika marah dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan psikhis dan moral secara keseluruhan.

Tujuan pendidikan ini adalah membentuk, menyempurnakan dan menyeimbangkan kepribadian individu, sehingga mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya dengan baik dan sempurna.

    Pendidikan Sosial

Maksud pendidikan sosial adalah mendidik individu agar terbiasa menjalankan adab-adab sosial yang baik dan dasar-dasar psikhis yang mulia dan bersumber pada aqidah Islamiyah yang abadi dan perasaan keimanan yang mendalam, agar di dalam masyarakat nanti ia bisa tampil dengan pergaulan dan adab yang baik, keseimbangan akal yang matang dan tindakan yang bijaksana.

    Pendidikan seksual

Yang dimaksud pendidikan seksual adalah upaya pengajaran, penyadaran dan penerangan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan kepada individu, sejak ia mengerti masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri dan perkawinan. Sehingga, jika anak tumbuh menjadi seorang pemuda, dia dapat memahami masalah yang dihalalkan dan yang diharamkan. Bahkan mampu menerapkan tingkah laku Islami sebagai akhlak, kebiasaan, dan tidak akan mengikuti syahwat dan cara-cara hedonisme.

Diantara pendidikan ini adalah mendidik adab-adab meminta idzin, adab memandang, keharusan menghindarkan diri dari rangsangan-rangsangan seksual, mengajarkan tentang hukum-hukum pada masa pubertas dan masa baligh, Perkawinan dan hubungan seksual, isti’far (mensucikan diri) bagi orang yang belum mampu menikah dan lain-lain.

Selain syamil, pendidikan Islam juga memiliki keistimewaan lain yaitu, Berdimensi manusiawi dengan paket pembinaan yang bertahap dan tawazun (penuh keseimbangan dalam segala sisi kehidupannya). selain juga terus mengikuti perkembangan jaman serta tetap menjaga orisinalitasnya.

Itulah garis besar karakteristik pendidikan Islam yang keberlangsungannya sangat bergantung pada manusia pelaksananya, perangkat serta keistiqomahan seluruh masyarakat dalam merealisir konsep pendidikan itu pada tujuan yang benar. Yakni upaya sungguh-sungguh (jihad) menciptakan masyarakat yang seluruh aktifitas ritual, sosial, intelektual, dan fisikalnya tunduk kepada tata aturan Maha pencipta alam semesta.

BAB III

KESIMPULAN

Pendidikan dalam pandangan Islam yang sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan hidupnya sesuai dengan ajaran Islam. Pendidikan merupakan suatu proses untuk mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya. Prinsip ini adalah keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan pada pribadi berbagai kebutuhan individu dan komunitas, serta tuntutan pemiliharaan kebudayaan silam dengan kebutuhan kebudayaan masa kini serta berusaha mengatasi masalah-masalah yang sedang dan yang akan dihadapi. Dari penjelasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa tujuan pendidikan adalah:

    Mendidik akhlak dan jiwa manusia, menanamkan nilai-nilai keutamaan, membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi.
    Menjadi manusia yang hidup mulia dan bahagia dunia dan akhirat
    Menjadi hamba Allah SWT yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Karena manusia diciptakan sebagai khalifah dan mengabdi kepada-Nya.
    Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kita dan orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan.
    Serta mampu menjalankan hidupnya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan memiliki pengetahuan baik pengatahuan agama maupun pengetahuan umum.

Daftar Pustaka

Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.

Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.

Dra. Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Askara, 2008.

Dr. Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008.

Fathiyyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Ghazaly, Jakarta: P3M, 1986.

HM. Djumransjah, Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2007.

M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Media Surya Grafindo, 1987.

Prof. Dr. Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma Al-Qur’an, Malang: Aditya Media & UIN Malang Press, 2004.

Prof. Dr. Veithzal Rivai, Dr. Sylviana Murni, Education Management, Analisis Teori dan Praktik, Jakarta: Rajawali Press, 2009.

Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007.

[1] Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.

[2] Dra. Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Askara, 2008.

[3]  Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung; Yayasan penyelenggara penafsir Al-Qur’an, 1987)

[4] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan....

[5] Prof. Dr. Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma Al-Qur’an, Malang: Aditya Media & UIN Malang Press, 2004.

[6] Prof. Dr. Veithzal Rivai, Dr. Sylviana Murni, Education Management, Analisis Teori dan Praktik, Jakarta: Rajawali Press, 2009.

[7] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung; Yayasan penyelenggara penafsir Al-Qur’an, 1987)

[8] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung; Yayasan penyelenggara penafsir Al-Qur’an, 1987)

[9] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung; Yayasan penyelenggara penafsir Al-Qur’an, 1987)

[10] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung; Yayasan penyelenggara penafsir Al-Qur’an, 1987)

Read more » 0 komentar

Copyright © Dunia_Pendidikan 2011