Thursday, June 16, 2011

KEPEMIMPINAN KULTURAL DI MANAJEMEN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI PONDOK PESANTREN AL-MUAYYAD SURAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepemimpinan Kultural sangat terkait dengan budaya atau tradisi organisasi. Perilaku yang diterapkan akan mewarnai budaya organisasinya baik dengan menemukan berbagai budaya baru (inovatif) maupun dengan mempertahankan (maintenance) berbagai budaya lama yang sudah ada. Beberapa ciri dari Kepemimpinan Kultural antara lain :
1. Memiliki visi dan misi yang mengarah pada ideologi baik yang radikal dengan mengubah budaya yang sudah ada maupun konservatif dengan memepertahankan budaya sebelumnya.
2. Kualitas pribadi, dimana pemimpin memiliki rasa percaya diri, kepribadian yang dominan, ekspresif atau sebaliknya percaya pada kelompok, fasilitator dan persuasif.
3. Perilaku kepemimpinan, dimana pemimpin memberikan peran yang efektif kepada bawahan, pandai memotivasi, selalu meningkatkan rasa percaya diri pegawai, memperhatikan kompetensi bawahan, pandai mengartikulasikan idiologi, dan menyerukan cita-cita yang tinggi.
4. Tindakan administratif yang mengarah pada perubahan struktur organisasi dengan strategi-strategi baru atau memperkuat struktur yang ada dengan mengubah struktur sedikit demi sedikit.
5. Penggunaan nilai/tradisi dengan menciptakan berbagai tradisi baru atau meneruskan tradisi yang sudah ada yang dinilai baik, 6. Para pengikut memiliki kepercayaan bahwa pimpinan memiliki berbagai kemampuan yang luar biasa yang dibutuhkan terutama pada saat krisis atau transisi.
Melihat perspektif diatas, maka kepemimpinan kultural adalah kepeimpinan yang mempunyai ideologi keperpihakan terhadap budaya atau nilai-nilai yang sudah ada sebelumnya. Jika nilai itu sudah kurang menarik atau cendrung menghambat ia akan memodifikasinya tanpa merubah identitas aslinya sehingga akar jatidiri budayanya tidak akan hilang.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang di paparkan di atas tadi, maka dapat di rumuskam permasalahan sebegai berikut: “ Bagaimana kepemimpinan Kultural di Manajemen lembaga Pendidikan Islam di Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta ?”


BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kepemimpinan Kultural
Konsep kepemimpinan dalam Islam sebenarnya memiliki dasar-dasar yang sangat kuat dan kokoh. Ia dibangun tidak saja oleh nilai-nilai transendental, namun telah dipraktekkan sejak berabad-abad yang lalu oleh nabi Muhammad SAW, para Shahabat dan Al-Khulafa' Al-Rosyidin. Pijakan kuat yang bersumber dari Al-qur'an dan Assunnah serta dengan bukti empiriknya telah menempatkan konsep kepemimpinan Islam sebagai salah satu model kepemimpinan yang diakui dan dikagumi oleh dunia internasional.
Namun dalam perkembangannya, aplikasi kepemimpinan Islam saat ini terlihat semakin jauh dari harapan masyarakat. Para tokohnya terlihat dengan mudah kehilangan kendali atas terjadinya siklus konflik yang terus terjadi. Harapan masyarakat (baca: umat) akan munculnya seorang tokoh muslim yang mampu dan bisa diterima oleh semua lapisan dalam mewujudkan Negara yang terhormat, kuat dan sejahtera nampaknya masih harus melalui jalan yang panjang.
Manajemen Kultural sebagai model manajemen keenam merupakan manajemen yang menggunakan nilai-nilai (keyakinan/kepercayaan) sebagai dasar pengembangan organisasi, termasuk pendidikan (sekolah) tidak dapat dikelola secara struktural/birokratis yang lebih menekankan pada perintah atasan, pengarahan, dan pengawasan, karena dapat terjadi anggota organisasi hanya bekerja apabila ada perintah dan pengawasan. Setiap orang bekerja dengan dasar nilai (keyakinan) yang mendorong adanya keterlibatan emosional, sosial, dan pikiran demi melaksanakan tugas pekerjaannya.
Dalam manajemen kultural, kultur lebih fokus terhadap nilai-nilai, keyakinan-keyakinan dan norma-norma individu dan bagaimana persepsi-persepsi ini bergabung atau bersatu dalam makna-makna organisasi. Kultur organisasional adalah suatu karateristik semangat dan keyakinan sebuah organisasi, yang ditunjukkan, misalnya, dalam norma-norma dan nilai-nilai yang secara umum berbicara tentang bagaimana seharusnya orang bersikap terhadap orang lain, suatu sifat pola hubungan kerja yang harus dikembangkan dan dirubah. Norma-norma ini sangat dalam, asumsi-asumsi kaku yangtidak selalu diekspresikan, dan selalu diketahui tanpa bisa dipahami”.
O’Neil (1994, hal. 105) merujuk pada ungkapan Deal (1988) tentang beberapa elemen kultur yang dibuat dalam beberapa variasi cara:
1. Nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang diekspresikan dalam bentuk tertulis.
2. Pahlawan pria/wanita yang melambangkan perilaku organisasi dan kualitas personal yang diinginkan.
3. Ritual yang mengarahkan semua anggotanya untuk bersama-sama memperkuat nilai-nilai inti.
4. Upacara-upacara yang merayakan nilai-nilai tersebut.
5. Kisah-kisah yang mengkomunikasikan dan meluaskan filosofi dan praktek yang berarti.
Bush mengatakan bahwa model-model kultural memandang bahwa keyakinan, nilai, dan ideologi ada pada jantung organisasi. Individu memiliki ide-ide tertentu dan preferensi nilai yang mempengaruhi bagaimana mereka bersikap dan bagaimana mereka memandang perilaku anggota-anggota lainnya. Norma-norma ini menjadi tradisi yang dikomunikasikan dalam kelompok dan diperkuat oleh simbol-simbol dan ritual. Prof. Sodiq juga menekankan bahwa manajemen kultural adalah manajemen yang menggunakan nilai-nilai (keyakinan/kepercayaan) sebagai dasar pengembangan organisasi. Karena itulah, manajemen kultural di pesantren merupakan bentuk manajerial pesantren yang lebih menekankan pada pendekatan kultural yang dilakukan oleh seorang kyai/ustadz dalam mengelola dan mengembangakan pesantren sebagai basis keilmuan Islam di Nusantara.
Salah satu basis kultural pesantren adalah bentuk pendidikan pesantren yang bercorak tradisionalisme. Menurut Mochtar Buchori, pesantren merupakan bagian struktural internal pendidikan Islam di Indonesia yang diselenggarakan secara tradisional yang telah menjadikan Islam sebagai cara hidup. Sebagai bagian struktur internal pendidikan Islam Indonesia, pesantren mempunyai kekhasan, terutama dalam fungsinya sebagai institusi pendidikan, di samping sebagai lembaga dakwah, bimbingan kemasyarakatan, dan bahkanperjuangan. Mukti Ali mengindetifikasikan beberapa pola umum pendidikan Islam tradisional sebagai berikut:
1. Adanya hubungan yang akrab antara kyai dan santri.
2. Tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kyai.
3. Pola hidup sederhana (zuhud).
4. Kemandirian atau independensi.
5. Berkembangnya iklim dan tradisi tolong-menolong dan suasana persaudaraan.
6. Displin ketat.
7. Berani menderita untuk mencapai tujuan.
8. Kehidupan dengan tingkat religiusitas tinggi.
Senada dengan Mukti Ali, Alamsyah Ratu Prawiranegara juga mengemukakan beberapa pola umum yang khas yang terdapat dalam pendidikan Islam tradisional sebagai berikut:
1. Independen.
2. Kepemimpinan Tunggal
3. Kebersamaan dalam hidup yang merefleksikan kerukunan.
4. Kegotong-royongan.
5. Motivasi yang terarah dan pada umumnya mengarah pada peningkatan kehidupan beragama.
Dari dua pendapat di atas, nampak sekali bahwa pola tradisionalisme merupakan basis kultur pesantren yang menjadikan keunikan tersendiri bagi pesantren. Kalau kita kaitkan dengan manajemen kultur, maka pola pendidikan tradisionalisme di pesantren merupakan basis nilai-nilai, keyakinan, dan budaya, yang dapat dijadikan dasar pengembangan manajemen kultur di pesantren. Misalnya: hubungan akrab antar kyai dan santri, ibarat hubungan antara ayah dan anak. Hubungan akrab ini bisa mendorong keterlibatan emosional kyai dan santri untuk mengembangkan pesantren bersama-sama, apalagi hal ini didukung oleh sikap ketundukkan dan kepatuhan seorang santri pada kyainya. Sikap inilah yang akan mendukung keberhasilan kepemimpinan seorang kyai di pesantren.
Dalam kepemimpinan seorang kyai di pesantren, memiliki titik kelemahan dan kelebihan. Titik kelemahannya, kyai merupakan figure sentral di dunia pesantren dan lebih dari itu merupakan faktor determinan terhadap suksesnya santri dalam mencari pengetahuan. Dalam ranah akademik pendidikan kepesantrenan, signifikasi peranan kyai dalam mengambil kebijakan juga menjadikan pembelajaran di pesantren yang biasanya non-stop, kurang teratur kurikulumnya, atau bahkan ada juga pesantren yang sama sekali tidak menerapkan sistem kurikulum. Bahan ajar menjadi hak prerogratif kyai. Kyai, dalam dunia pendidikan pesantren menjadi seorang otokrat.
Sisi positif (kelebihan) dari lembaga pendidikan pesantren adalah walaupun dipimpin oleh seorang kyai secara otokratif, akan tetapi watak inklusifnya begitu mendalam. Kebersahabatannya dengan budaya lokal telah berhasil memperkokoh funda-mentasi kebangsaan. Maka tidak heran pesantren menjadi akulturasi kebudayaan antar daerah. Berkenaan dengan ini, tipe kepemimpinan pesantren memiliki watak pemersatu. Daulat P. Tampubolon (2001) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan pemersatu berarti mampu mempersatukan semua unsur dan potensi yang berbeda-beda sehingga menjadi kekuatan sinergis yang bermanfaat bagi semua pihak.
Inilah mungkin letak keunikan dalam kepemimpinan (manajemen) di dunia pesantren. Di satu sisi seorang kyai sebagai public figure bagi santrinya yang harus diikuti, di sisi lain, seorang kyai mampu mengakomodir keberagaman budaya santrinya. Sebagaimana kata Mukti Ali di atas, berkembangnya iklim dan tradisi tolong-menolong dan suasana persaudaraan antara kyai dan santrinya.
Saya melihat, keberhasilan kyai dalam melakukan pengelolaan pesantren, salah satunya karena kyai menjunjung tinggi nilai-nilai, budaya maupun keyakinan. Sikap otokrasi biasanya dilakukan oleh kyai saat beliau menjadi seorang pemimpin pesantren yang lebih menekankan pada nilai-nilai keagamaan, misalnya: Pembelajaran yang bersifat kyai-centered. Seorang kyai melihat para santrinya belum matang secara intelektual maupun emosionalnya, sehingga perlu dibimbing dalam belajar. Adapun metode pembelajaranya, biasa disebut dengan metode sorogan atau bandongan dimana kyai mempunyai kekuasan tinggi dalam mengajarkannya, bahkan “haram” bagi santri untuk membantahnya.
Sikap kekeluargaan, keakraban, tolong-menolong biasanya dilakukan oleh kyai saat beliau menjadi seorang manajer pesantren yang lebih menekankan pada proses dan pengelolaan pesantren. Di sinilah letak manajemen kultur yang dilakukan oleh kyai untuk mengembangkan pesantren. Nilai-nilai seperti kekeluargaan, keakraban, tolong-menolong sangat efektif untuk manjalin ikatan emosional antara kyai dan santri untuk mencapai tujuan pesantren secara bersama.
Kaitannya dengan gejala modernitas dan perkembangan ilmu pengetahuan (the rise of educations), sebaiknya sikap otokrasi dalam kepemimpinan seorang kyai dikurangi dan lebih mengedepankan sikap “mengayomi” santri dengan nilai-nilai, budaya maupun keyakinan agama sebagai basis manajemen kultur di pesantren. Sikap otokrasi akan menghasilkan peserta didik yang tidak kritis dan jumud (kaku) dalam pemikiran. Padahal, perkembangan ilmu pengetahuan membutuhkan keterbukaan dan partisipasi aktif antara peserta didik dengan seorang kyai atau guru. Model pembelajaran bukan kyai-centered tapi santri-centered.
B. Ciri-Ciri Kepemimpinan Kultural
Imam Al Mawardi dalam Al-ahkam Al sulthoniyyah-Nya memberikan beberapa kriteria seorang pemimpin yang ideal agar tampilnya pemimpin tersebut dapat mengantarkan suatu Negara yang adil dan sejahtera seperti yang diharapkan.
1. Seorang pemimpin harus mempunyai sifat adil ('adalah)
2. Memiliki pengetahuan untuk memanage persoalan-persoalan yang ada kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
3. Sehat panca indranya seperti pendengaran, penglihatan dan lisannya. Sehingga seorang pemimpin bisa secara langsung mengetahui persoalan-persoalan secara langsung bukan dari informasi atau laporan orang lain yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
4. Sehat anggota badan dari kekurangan. Sehingga memungkinkan seorang pemimpin untuk bergerak lebih lincah dan cepat dalam menghadapi berbagai persoalan ditengah-tengah masyarakat.
5. Seorang pemimpin harus mempunyai misi dan visi yang jelas. bagaimana memimpin dan memanage suatu Negara secara berstruktur, sehingga ada perioritas tertentu, mana yang perlu ditangani terlebih dahulu dan mana yang dapat ditunda sementara.
6. Seorang pemimpin harus mempunyai keberanian dan kekuatan. Dalam hal ini seorang pemimpin harus mempunyai keberanian dan kekuatan dalam menegakkan hukum dan keadilan.
7. Harus keturunan Quraisy. Namun menurut pandangan Ibnu Khaldun dalam Muqoddimah-Nya bahwa, hadits "Al Aimmatu min Quraisyin" (HR. Ahmad dari Anas bin Malik) tersebut dapat dipahami secara konstektual, bahwa hak pemimpin itu bukan pada etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW orang yang memenuhi persyaratan sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat adalah dari kaum Quraisy. Oleh karena itu, apabila pada suatu saat ada orang yang bukan dari Quraisy tapi punya kemampuan dan kewibawaan, maka ia dapat diangkat sebagai pemimpin termasuk kepala Negara.



BAB III
REGULASI MENEJERIAL
Menurut dzamaksai Dhofir, yang dimaksud islam tradisional ialah islam yang masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran para ulama ahli fiqh(hukum islam), hadist, tafsir, tauhid,(teologi islam) dan tasawuf yang hidup antara abad ketujuh sampai dengan abad ke tiga belas. Tetapi ini tidak berarti bahwa islam tradisional dewasa ini tetap terbelengu dalam bentuk-bentuk pikiran dan aspirasi yang diciptakan oleh ulama pada abad-abad tersebut. Memang betul, dari abad ke tiga belas sampai akhir abad sembilan belas perumusan resmi tentang islam tradisional sedikit sekali mengalami perubahan yang mendalam, proses perubahan itu telah melahirkan suatu kekuatan “ekspansi” yang tersalur dalam berbagai bentuk aktifitas.
Cliffrod Greetz menggolongkan masyarakat islam jawa menjadi tiga kelompok; santri, priyai, dan abangan. Sekarang tesis greetz ini banyak digugat orang. namun masih menunjukkan kompetensinya sebagai rujukan berbagai macam analisa tentang masyarakat pesantren.tidak berkelebihan kalau dikatakan bahwa “tradisi pesantren”yang diungkap oleh dhofir sedikit banyak juga hasil telaah mendalam terhadap tesis greetz. Secara khusus model masyarakat islam greetz ini terganmbar dalam komunitas santri “modern”. Santri yang tergolong dan dikonotasikan dengan “orang sarungan”dan priyayi dari masyarakat keraton, bisa terlihat tergabung dalam budaya masyarakat santri modern. Seorang santri bisa saja menonjolkan watak keislaman yang kental, tapi sikap hidup dan tata cara pergaulannya sedikit banyak masih menunjukkan ciri khas masyrakat keraton. Banyak pula santri yang pakai dasi, jas dan celana. Semua ini tidak lepas dari faktor sejarah.
Tuntutan lerevansi pendidikan pesantren dengan realitas zaman memaksa tokoh-tokoh pesantren, utamanya dari kalangan mudarnis, melakukan study banding terhadap sistem budaya pesantren engan budaya kontemporer (baca; budaya luar). Tetapi fisi yang mereka gunakan kadang kurang sesuai dengan tradisi pesantren. Secara keilmuan pesantren dikaji dari sudut pandang kultur-empiris-realistik, sementara budaya pesantren bersifat kultur-historis-konfensional. Bila perbedaan fisi seperti ini di gunakan untuk menganalisa kecendrungan-kecendrungan di pesantren akan menghasilkan antitesis, bukan sintesis.
Budaya pesantren merupakan salah satu bagian setting sosial islam, yang mengakui perbedaan “takdir” manusia dalam pendekatan intelektual terhadap permasalahan yang terungkap didunia empirik. Tradisi pesantren merupakan salah satu bentuk budaya akulturasi budaya indonesia dengan ajaran islam. Kesetimbangan itu, tradisi pesantren tidak kita temui di negara islam yang lain kecuali hanya indonesia.
Praktek keislaman yang di bumbui budaya lokal semacam itu, pernah diungkap oleh Simon Van Den Berg dalam kata pengantarnya untuk terjemahan bahasa inggris terhadap buku tahafud al-Tahafud milik Ibnu Rush. Van Den Berg menulis demikian”mungkin bisa dikatakan bahwa santa maria yang di bangun atas minerva (dewi kebijaksanaan romawi sama dengan dewi athena yunani) adalah lambang budaya Eropa. Tapi tidak boleh dilupakan bahwa masjid pun dibangun diatas kuil Yunani”. Dr. Nur Kholis Madjid mengkritik postulat Van Den Berg terlalu berlebihan. Lebih lanjut cak Nur menjelaskan, masjid juga diberikan diatas kuil Yunani terasa sangat berlebiahan. Akan tetapi cak Nur Masih mengakui adanya unsur kebenaran dalam postutat Van Den Berg tersebut. Walaupun hanya pada batasan historik.
Dalam batasan tersebut, tradisi pesantren juga termasuk lambang Budaya Islam lokal seperti yang dimaksud oleh Van den Berg. Cuma konteks geografisnya berbeda. Karena dia orang Eropa, tentu saja Van den Berg memilih Yunani dan Romawi sebagai lambang akulturasi Budaya.sesuai dengan latar belakang geografis tempat Van den Berg tinggal. Sementara tradisi pesantren yang berkembang diatas unsur agama Islam dan Budaya Jawa, memiliki latar biografis Indonesia sesuai dengan tempat dimana pesantren itu ada. Walau konteks geografisnya berbeda, tradisi dipesantren memiliki determinasi akulturasi budaya yang sama dengan lambang budaya Eropanya Van den Berg, yakni sama-sama dipengaruhi dan mempengaruhi cara-cara menerapkan ajaran Islam.
Akulturasi Budaya itu bisa terjadi akibat impulse Universalis Islam. Disamping menimbulkan dampak negatif, impulse universalisme juga banyak membawa pengaruh yang positif. Dalam sejarah perkembangan intelektual dan budaya lokal terhadap ajaran Islam sudah merupakan hal baru lagi. Itu terjadi karena cendikiawan muslim makin intens melakukan studi dan seleksi terhadap hal-hal yang bisa berdampak positif dan yang negatif, untuk kemudian melakukan pilihan mana yang pantas diambil dan mana pula yang harus dibuang.
Cliffort Geertz memandang akulturasi Budaya jawa dengan ajaran Islam sebagai fenomena yang positif guna menyambung dua peradaban. Dalam hal ini Geertz memilih sunan Kalijaga, Geertz menulis demikian “.....sebagai sesuatu pelambang dan ide berwujud nyata Sunan Kalijaga mempertemukan jawa yang Hindu dan jawa yang Islam, dan disitulah terletak daya tariknya. Sama juga untuk kita dan juga untuk orang lain. Apapun sebenarnya yang terjadi, ia dipandang sebagai jabatan antara dua peradaban tinggi dua epos sejarah, dan dua agama besar yaitu; hindualisme, Budhaisme Majapahit yang disitu ia dibesarkan dan Mataram Islam.”
Nampaknya adanya pengaruh tertentu lingkungan budaya lokal dalam ekspresi keagamaan seseorang merupakan sebuah keniscayaan, seperti diakui oleh Ibnu Chaldun dalam bukunya yang termasyhur, “Muqaddimah”, ia memaparkan tentang konstalasi bagaimana budaya lokal mempengaruhi aplikasi ajaran agama Ibnu Chaldun memulai bahasanya dengan bertitik tolak dari pembagian bola bumi menjadi tujuh daerah Kimatologis dengan pengaruhnya masing-masing dalam watak para penghuninya Ibnu Chaldun memaparkan teori tentang pengaruh keadaan udara suatu daerah terhadap akhlaq serta tingkah laku orang-orang setempat.
Mencermati ketentuan tersebut, kita bisa menilai bahwa kedatangan Islam selalu mengakibatkan atau pengalihan bentuk (transformasi) sosial-budaya menuju kearamh yang lebih baik. Tapi pada saat yang sama kedatangannya tidak mesti destruktif atau bersifat memotong suatu masyarakat dari masa lampaunya semata, melainkan juga dapat ikut melestarikan apa saja, yang baik dan benar dari masa lampau itu, dan bisa dipertahankan dalam ajaran Universal Islam.


BAB IV
ANALISIS
 Kepemimpinan Kultural di Pondok pesantren Al-Muayyad Surakarta
Pesantren tidak menutup diri begitu saja dari perubahan sosial yang sedang berlangsung, termasuk pengaruh cepat dari luar yang dapat berakibat bagi perubahan budaya di lingkungan pesantren. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama bidang informasi, yang sekaligus ditandai oleh adanya sarana informasi yang langsung atau tidak langsung akan dapat mempengaruhi budaya pesantren, dan yang terkait erat adalah santri, dengan demikian, maka pergeseran budaya akan sangat mempengaruhi proses keberhasilan pesantren dalam membina tujuan utamanya yaitu sebagai lembaga pengkaderan ulama.
Upaya yang dilakukan kiai dalam mengantisipasi berbagai bentuk perubahan budaya yang terjadi lingkungan pesantren adalah dengan meyakinkan pengikutnya, terutama santrinya dengan jalan memberikan pemahaman yang luas tentang visi dan misi yang di emban oleh pesantren tersebut, dengan demikian, maka kesan kiai tidak semata-mata ekstrim atau sosok yang menolak perubahan, sebab bagaimanapun bentuk penolakan tersebut perubahan akan senantiasa terjadi dan terus terjadi, sehingga kiai sebagai pemegang teguh kebijakan yang berlaku di pesantren hendaknya dapat mensiyalir perubahan tersebut dan juga menyeleksi perubahan tersebut dan selama perubahan-perubahan tersebut sesuai dengan norma yang berlaku atau tidak merusak akidah dan syari’ah, mengapa tidak diterima, sebab segala sesuatu perubahan akan berdampak baik positif ataupun negatif sekalipun, dan hendaknya pesantren dapat menjadi mercusuar dalam mengantisipasi perubahan tersebut.
Mastuhu (1999 : 259), memberikan suatu wacana akan perubahan budaya yang berlaku di lingkungan pesantren, lebih lanjut dikatakan bahwa di era industrialisasi, memungkinkan pesantren memiliki peran ganda (dual culture); agraris dan industri, yang pertama merupakan pondasi untuk mengantisipasi atau membaca setiap pengaruh yang datang dari luar, sedangkan yang kedua merupakan vision pesantren sendiri guna mempredeksi bagaimana posisinya ditengah-tengah masyarakat yang semakin maju, sehingga visi pesantren itu merupakan pengejawantahan dari doktrin cultural-politik-kiai.
Perubahan diatas hendaknya menjadi cambuk yang berarti bagi keluarga pesantren, terutama dalam mempersiapkan generasi berikutnya yang dipercaya untuk mengembangkan pesantren ke depan, sehingga pengkaderan keluarga kiai dalam mendidik anak-anaknya untuk semata-mata menguasai ilmu agama, melainkan menguasai bidang lain yang berhubungan dengan sains dan teknologi.
Profesi merupakan suatu status yang mengarah kepada bukti kinerja atas bidang pekerjaan yang digeluti, sebagai suatu profesi status pekerjaan telah mengalami suatu proses yang menuju kearah perkembangan yang dinamis sehingga memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan (Vollmer, 1996 : 2)
Profesi biasanya berkaitan erat dengan beberapa jenis pekerjaan atau bidang keahlian, diantaranya; dokter, insinyur, pengacara, walaupun hal ini merupakan penglihatan dari kacamata individual, akan tetapi biasanya profesionalisasi dalam lembaga pendidikan lebih cenderung mengarah kepada birokrat dan hal ini biasanya dibuktikan dalam perilaku kesehariannya yang biasa disebut dengan salaried professional
Suatu taksonomi pendidikan tentang tenaga professional dibedakan atas (1) preservic teacher education (2) inservice teacher education (3) continuing education (4) continued education (5) staff development (Konecki dan Stein, 1978 : 42). Preservice education diartikan dengan program pendidikan persiapan jabatan guru yang dilaksanakan pada tingkat perguruan tinggi yang lamanya empat atau lima tahun, sedangkan inservice education dipersiapkan untuk meningkatkan kemampuan professional guru yang merupakan program penataran yang lamanya satu hari atau dengan satu tahun. Contibuing education diartikan dengan upaya pendidikan yang dilakukan sendiri oleh seseorang sesuai dengan minat dan kebutuhannya dalam rangka pertumbuhan jabatan professionalnya, sedangkan continued education merupakan program pendidikan lanjutan atas spesialisasi keahlian seseorang dalam rangka meningkatkan dan memperdalam pengetahuan dan kemampuannya melalui pendidikan pascasarjana, dan staff development merupakan peningkatan kemampuan professional seseorang yang berhubungan dengan mutu pelayanannya terhadap orang lain.
Melihat hal itu semua, karena pesantren dikembangkan oleh sendiri dan dibesarkan melalui minat sendiri juga kemauan yang selalu didasarkan atas kemampuan diri serta dorongan publik yang membutuhkan keberadaan lembaga tersebut, maka sebagai bagian dari taxonomi pendidikan, sudah merupakan keharusan mengedepankan profesionalisme dalam penyelenggaraan pendidikannya.
Timbulnya kewibawaan kepemimpinan beragam, seperti yang diungkapkan dalam penelitiann French dan Raven yang mengungkapkan beberapa definisi, kewibawaan dan mengarah kepada asal mula timbulnya kewibawaan tersebut, dan hal ini dilihat dari beberapa unsur;
a. Reward Power, istilah ini cenderung mendekati kepada kinerja bawahan yang ingin mendapatkan penghargaan yang setinggi-tingginya dari atasan.
b. Coersive Power, merupakan suatu pembelaan diri atas pekerjaan agar terhindar dari sangsi yang suatu saat akan dijatuhkan oleh pemimpinnya.
c. Legitimate Power, merupakan suatu prilaku mutlak dari seorang pemimpin yang memiliki kewenangan untuk mengatur, mengendalikan, dan memenej suatu peraturan, dan dalam hal ini bawahan harus mematuhinya.
d. Expert Power, merupakan suatu keyakinan yang dibentuk oleh bawahan dengan suatu anggapan bahwa tidak semata-mata pemimpinnya mengeluarkan suatu aturan untuk ditaati, kalau pemimpinnya tidak memiliki pengetahuan yang cukup komprehensif dan memadai.
e. Referent Power, lebih mengarah kepada perilaku bawahan yang menganggap bahwa sebagai bawahan dia memiliki rasa kekaguman yang mendalam kepada pemimpinnya, sehingga bahkan lebih cenderung ingin berperilaku seperti pemimpinnya.
Mengacu kepada rangkaian kepustakaan diatas, maka pendekatan kewibawaan lebih cenderung mengarah kepada rasa percaya diri yang dalam dari seorang pemimpin guna menjalankan roda organisasinya, walaupun sebenarnya pendekatan seperti ini tidak menutup kemungkihnan terbina melalui pendekatan sifat.



DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. Mukti, Ta'lim Al-Muta'allim Cermin Imam Zarkasy. Gontor: Trimurti, 1991
Arifin, H. Muzayyin, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1994
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millinium Baru. Jakarta: Penerbit Kalimah, 2001.
Bogdan dan Biklen, Qualitative Research for Education, An introduction to theory and methods. Boston: Allyn and Bacon, 1982,
Bruinessen, Martin Van, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis dan Soisologis. Bandung: Mizan, 1992
Dhafir, Zamarkasy, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES,1985
Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty, 2001.
al-Ghazali, Abu Hamid al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin. Kairo: Dar-al-Maarif, 1939
Husein, Syed Sajjad, & Al-Asyraf, Syed Ali, Crisis in Muslim Education, Hodder and Stoughton: King Abdul Aziz University, Jeddah, diterjemahkan oleh Mudhafir, Fadhlan 2000. Krisis dalam Pendidikan Islam. Jakarta: Al-Mawardi Prima Anggota IKAPI.
Hussein, Hussein & Syed Ali Al-Asyraf, Crisis in Muslim Education, (Hodder and Stoughton : King Abdul Aziz University, Jeddah, diterjemahkan oleh Fadhlan Mudhafir, Krisis dalam Pendidikan Islam, (Jakarta: Al-Mawardi Prima Anggota IKAPI, 2000), hlm. ix.
al-Kalabadi, Abu bakar Muhammad al-Kalabadi, buku "al-ta'aruf li al madzhab al-tashawuf. Kairo:1960
Madjid, Nurcholis, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997
Saifullah, Ali, Darussalam, Pondok Pesantren Modern Gontor, Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1985
Read more »

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Dunia_Pendidikan 2011