Wednesday, May 25, 2011

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT KH. HASIM ASY’ARI DAN KH. AHMAD DAHLAN

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT
KH. HASIM ASY’ARI DAN KH. AHMAD DAHLAN
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap peristiwa di jagad raya ini adalah potongan mozaik. Terserak di sana-sini, tersebar dalam rentang waktu dan ruang-ruang. Namun perlahan-lahan ia akan bersatu membentuk sosok seperti MontaseAnton Gaudi. Kita sebagai generasi pendidik, mozaik-mozaik itu akan membangun siapa diri kita, lalu apa yang akan kita kerjakan dalam dunia kita sebagai bagian dari mozaik dunia pendidikan kita. (Andrea Hirata, Sang Pemimpi) Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan kau hidup dari Muhammadiyah (Buya Ahmad Dahlan) Sampai sekarang permasalahan pendidikan masih sangat hangat dibicarakan oleh para ilmuwan Muslim di seantero dunia (mis. pada konferensi pendidikan) dengan mencoba menginventarisis pendidikan untuk diberikan solusi. Pada masa kolonialisme, pola pendidikan yang dualistis masih terjadi di Indonesia yaitu adanya system pendidikan colonial dan system pendidikan Islam (pesantren). Pendidikan colonial sangat berbeda dengan pendidikan Islam “tradisional”. Perbedaan itu, bukan hanya dari segi metode, tetapi lebih khusus lagi dari segi isi dan tujuan pendidikan. Pada awalnya tempat-tempat pendidikan yang didirikan oleh pemerintahan colonial Belanda khusus bagi anak-anak Belanda dan anak orang asing lainnya atau bagi anak pribumi yang berasal dari tokoh terkemuka seperti orang kraton (priyayi) dan pejabat desa. Lembaga pendidikan yang dikhususkan bagi anak-anak tertentu itu dinamakan Europeesche Lagere School. Namun sejak adanya politik etika colonial Belanda berdiri berbagai macam sekolah, maka mulai dari Inlandsche Lagere School yang disebut sekolah rendah. Hogere Burger School (HBS), Meer Vitgebreit Lagere Onderwijs (MULO) sebagai sekolah menengah pertama. Sampai Algemeene Midle Bare School (AMS) sebagai sekolah lanjutan atas.
Sesuai dengan landasan politik yang dijalankan pemerintah Belanda, maka tujuan sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Belanda juga mencerminkan arah politiknya, yakni sekedar untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang agak terdidik. Di sisi lain, pendidikan yang dikelola oleh pemerintah colonial, berorientasikan pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi. Corak pendidikan tersebut sesuai dengan strategi politik pemerintah colonial Belanda yang ingin netral terhadap agama. Secara umum, fenomena di atas menunjukkan bahwa keadaan social-ekonomi-kultural dan politik saat itu benar-benar merupakan tantangan bagi sejumlah tokoh pada saat itu yang harus dijawab dengan ide dan tindakan. Selanjutnya setting social di atas menunjukkan fenomena bahwa umat Islam dihadapkan pada maslah dikotomi pendidikan, yaitu pengaruh kebudayaan Barat dan kemunduran intelektural di pihak lain. Sadar akan tantangan yang demikian, di beberapa kawasan Nusantara tampil para tokoh dan pemikir membawa seperngkat pemikir, baik dalam bentuk tulisan maupun melalui karya nyata sebagai jawaban terhadap tantangan yang mereka hadapi. Mereka itulah yang disebut dengan kaum pembaharu yang kehadiran dan kebangkitan mereka bertujuan tidak hanya untuk menentang pengaruh Barat dari segi social dan cultural, tetapi juga untuk menghimbau mereka untuk kembali kepada dasar-dasar pokok Islam melalui jalur pendidikan sebagai central kegiatan politiknya. Di antara tokoh pembaharu, diantaranya muncul di Kauman Yogyakarta yaitu K. H. Ahmad Dahlan (1868-1923) dengan pemikirannya mengenai pendidikan Islam dan organisasi Muhammadiyahnya yang didirikan pada tahun 1921 M. Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai Biografi K.H. Ahmad Dahlan, Pemikiran beliau mengenai Pendidikan Islam, beliau sebagai pembaharu dan hubungannya dengan Muhammadiyah. Dan satu lagi tokoh pembaharu pendidikan yaitu KH Hasyim Asy’ari
BAB II
PEMBAHASAN
A. PEMIKIRAN PENDIDIKAN MENURUT KH. HASIM ASY’ARI
Untuk menuangkan pemikirannya tentang pendidikan islam, KH. Hasyim Asy’ari telah merangkum sebuah kitab karangannya yang berjudul “Muta’allim Fima Yahtaj Ilah Al-Muta’alim Fi Ahual Muta’allum Wa Yataqaff Al-Mu’allim Fi Maqamat Ta’limah” . Dalam kitab tersebut beliau merangkum pemikirannya tentang pendidikan Islam kedalam delapan poin, yaitu:
Keutamaan ilmu dan keutamaan belajar mengajar :
a) Etika yang harus diperhatikan dalam belajar mengajar
b) Etika seorang murid kepada guru
c) Etika seorang murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomi berasama guru
d) Etika yang harus dipedomi seorang guru
e) Etika guru ketika dan akan mengajar
f) Etika guru terhadap murid-murid nya
g) Etika terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang berkaitannya dengannya.
Dari delapan pokok pemikiran di atas, Hasyim Asy’ari membaginya kembali kedalam tiga kelompok, yaitu :
a) Signifikansi Pendidikan
b) Tugas dan tanggung jawab seorang murid
c) Tugas dan tanggung jawab seorang guru.
Pada dasarnya, ketiga kelompok pemikiran tersebut adalah hasil integralisasi dari delapan pokok pendidikan yang dituangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari.
A.1. Sigifikansi Pendidikan
Dalam membahas masalah ini, KH.Hasyim Asy’ari mengorientasikan pendapatnya berdasarkan alwur’an dan Al-Hadits. Sebagai contohnya ialah beliau mengambil pemikiran pendidikan tentang keutamaan menuntut ilmu dan keutamaan bagi yang menuntut ilmu dari surat Al-Mujadilah ayat 11 yang kemudian beliau uraikan secara singkat dan jelas. Misalnya beliau menyebutkan bahwa keutamaan yang paling utama dalam menuntut ilmu adalah mengamalkan apa yang telah dituntut. Secara langsung beliau akan menjelaskan maksud dari perkataan itu, yaitu agar seseorang tidak melupakan ilmu yang telah dimilikinya dan bermanfaat bagi kehidupannya di akherat kelak.
KH. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa dalam menuntut ilmu harus memperhatikan dua hal pokok selain dari keimanan dan tauhid. Dua hal pokok tersebut adalah :
1. Bagi seorang peserta didik hendaknya ia memiliki niat yang suci untuk menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal yang bersifat duniawi dan jangan melecehkan atau menyepelekannya
2. Bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu tidak semata-mata hanya mengharapkan materi, disamping itu hendaknya apa yang diajarkan sesuai dengan apa yang diperbuat.
Hasyim Asy’ari juga menekankan bahwa belajar bukanlah semata-mata hanya untuk menghilangkan kebodohan, namun untuk mencari ridho Allah yang mengantarkan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat. Kareba itu hendaknya belajar diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai islam bukan hanya semata-mata menjadi alat penyebrangan untuk mendapatkan meteri yang berlimpah.
A.2. Tugas dan Tanggung Jawab Murid
Murid sebagai peserta didik memiliki tugas dan tanggung jawab berupa etika dalam menuntut ilmu, yaitu :
1. Etika yang harus diperhatikan dalam belajar
Dalam hal ini Hasyim Asy’ari mengungkapkan ada sepuluh etika yang harus dipebuhi oleh peserta didik atau murid, yaitu :
1. membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawian
2. membersihkan niat
3. tidak menunda-nunda kesempatan belajar
4. bersabar dan qonaah terhadap segala macam pemberian dan cobaan
5. pandai mengatur waktu
6. menyederhanakan makan dan minum
7. bersikap hati-hati atau wara’
8. menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan kemalasan yang pada akhirnya menimbulkan kebodohan
9. menyediakan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan
2. Etika Seorang Murid Terhadap Guru
Etika seorang murid murid kepada guru, sesuai yang dikatakan oleh Hasyim Asy’ari hendaknya harus memperhatikan sepuluh etika utama, yaitu :
1. hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan apa yang dijelaskan atau dikatakan oleh guru
2. memilih guru yang wara’ artinya orang yang selalu berhati-hati dalam bertindak disamping profesionalisme
3. mengikuti jejak guru yang baik
4. bersabar terhadap kekerasan guru
5. berkunjung kepada guru pada tempatnya atau mintalah izin terlebih dahulu kalau harus memaksa keadaan pada bukan tempatnya
6. duduklah yang rapi dan sopan ketika berhadapan dengan guru
7. berbicaralah dengan sopan dan lemah lembut
8. dengarkan segala fatwanya
9. jangan sekali-kali menyela ketika sedang menjelaskan
10. dan gunakan anggota kanan bila menyerahkan sesuatu kepadanya.
3. Etika Murid Terhadap Pelajaran
Dalam menuntut ilmu murid hendaknya memperhatikan etika berikut :
a) memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain untuk dipelajari
b) harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu-ilmu fardhu ‘ain
c) berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama
d) mendiskusikan atau menyetorkan apa yang telah ia pelajari pada orang yang dipercayainya
e) senantiasa menganalisa, menyimak dan meneliti ilmu
f) pancangkan cita-cita yang tinggi
g) bergaulah dengan orang berilmu lebih tinggi (intelektual)
h) ucapkan bila sampai ditempat majlis ta’lim (tempat belajar, sekolah, pesantren, dan lain-lain)
i) bila terdapat hal-hal yang belum diketahui hendaknya ditanyakan
j) bila kebetulan bersamaan banyak teman, jangan mendahului antrian bila tidak mendapatkan izin
k) kemanapun kita pergi kemanapun kita berada jangan lupa bawa catatan
l) pelajari pelajaran yang telah diajarkan dengan continue (istiqomah)
m) tanamkan rasa semangat dalam belajar.
A.3. Tugas dan Tanggung Jawab Guru
Dalam dunia pendidikan tidak hanya seorang murid yang memiliki tanggung jawab. Namun seorang guru juga memiliki tanggung jawab yang hampir serupa dengan murid, yaitu :
1. Etika Seorang Guru
Seorang guru dalam menyampaikan ilmu pada peserta didik harus memiliki etika sebagai berikut :
a) selalu mendekatkan diri kepada Allah
b) senantiasa takut kepada Allah
c) senantiasa bersikap tenang
d) senantiasa berhati-hati
e) senantiasa tawadhu’ dan khusu’
f) mengadukan segala persoalannya kepada Allah SWT
g) tidak menggunakan ilmunya untuk keduniawian saja
h) tidak selalu memanjakan anak didik
i) berlaku zuhud dalam kehidupan dunia
j) menghindari berusaha dalam hal-hal yang rendah
k) menghindari tempat-tempat yang kotor atau maksiat
l) mengamalkan sunnah nabi
m) mengistiqomahkan membaca al-qur’an
n) bersikap ramah, ceria, dan suka menebarkan salam
o) membersihkan diri dari perbuatan yang tidak disukai Allah
p) menumbuhkan semangat untuk mengembangkan dan menambah ilmu pengetahuan
q) tidak menyalahgunakan ilmu dengan menyombongkannya
r) dan membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas.
Dalam pembahasan ini ada satu hal yang sangat menarik, yaitu tentang poin yang terakhir guru harus rajin menulis, mengarang dan meringkas. Hal ini masih sangat jarang dijumpai, ini juga merupakan menjadi salah satu faktor mengapa masih sangat sulit dijumpai karya-karya ilmiah. Padahal dengan adanya guru yang selalu menulis, mengarang dan merangkum, ilmu yang dia miliki akan terabadikan.

2. Etika Guru dalam mengajar
Seorang guru ketika mengajar dan hendak mengajar hendaknya memperhatikan etika-etika berikut :
a) mensucikan diri dari hadats dan kotoran
b) berpakaian yang sopan dan rapi serta berusaha berbau wewangian
c) berniat beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu
d) menyampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah (walaupun hanya sedikit)
e) membiasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan
f) memberikan salam ketika masuk kedalam kelas
g) sebelum belajar berdo’alah untuk para ahli ilmu yang telah terlebih dahulu meninggalkan kita
h) berpenampilan yang kalem dan menghindarkan hal-hal yang tidak pantas dipandang mata
i) menghindarkan diri dari gurauan dan banyak tertawa
j) jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, makan, marah, mengantuk, dan lain sebagainya
k) hendaknya mengambil tempat duduk yang strategis
l) usahakan berpenampilan ramah, tegas, lugas dan tidak sombong
m) dalam mengajar hendaknya mendahulukan materi yang penting dan disesuaikan dengan profesionalisme yang dimiliki
n) jangan mengajarkan hal-hal yang bersifat subhat yang dapat menyesatkan
o) perhatikan msing-masing kemampuan murid dalam meperhatikan dan jangan mengajar terlalu lama
p) menciptakan ketengan dalam belajar
q) menegur dengan lemah lembut dan baik ketika terdapat murid yang bandel
r) bersikap terbuka dengan berbagai persoalan yang ditemukan
s) berilah kesempatan pada murid yang datang terlambat dan ulangilah penjelasannya agar mudah dipahami apa yang dimaksud
t) dan apabila sudah selesai berilah kesempatan kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang belum dimengerti.
Dari pemikiran yang ditawarkan oleh hasyim asy’ari tersebut, terlihatlah bahwa pemikirannya tentang etika guru dalam mengajar ini sesuai dengan apa yang beliau dan kita alami selama ini. Hal ini mengindikasikan bahwa apa yang beliau fikirkan adalah bersifat fragmatis atau berdasarkan pengalaman. Sehingga hal inilah yang memberikan nilai tambah begi pemikirannya.

3. Etika Guru Bersama Murid
Guru dan murid pada dasarnya memiliki tanggung jawab yang berbeda, namun terkadang seorang guru dan murid mempunyai tanggung jawab yang sama, diantara etika tersebut adalah :
a) berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at islam
b) menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawian
c) hendaknya selalu melakukan instropeksi diri
d) menggunakan metode yang sudah dipahami murid
e) membangkitkan semangat murid dengan memotivasinya, begitu murid yang satu dengan yang lain
f) memberikan latihan – latihan yang bersifat membantu
g) selalu memperhatikan kemapuan peserta didik yang lain
h) bersikap terbuka dan lapang dada
i) membantu memecahkan masalah dan kesulitan peserta didik
j) tunjukkan sikap yang arif dan tawadhu’ kepada peserta didik yang satu dengan yang lain.
Bila sebelumnya seorang murid dengan guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda, maka setelah kita telaah kembali, ternyata seorang guru dan murid juga memiliki tugas yang serupa seperti tersebut di atas. Ini mengindikasikan bahwa pemikiran Hasyim Asy’ari tidak hanya tertuju pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh peserta didik dan guru, namun juga keasamaan yang dimiliki dan yang harus dijalani. Hal ini pulalah yang memberikan indikasi nilai utama yang lebih pada hasil pemikirannya.
B. PEMIKIRAN PENDIDIKAN MENURUT KH. AHMAD DAHLAN
Selain berdagang pada hari-hari tertentu, Ahmad Dahlan memberikan pengajian agama kepada beberapa kelompok orang, terutama pada kelompok murid Pendidikan Guru Pribumi di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba mendirikan sebuah madrasah dcngan pengantar bahasa Arab di lingkungan Keraton, namun gagal.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
Tujuan Muhammadiyah terutama untuk mendalami agama Islam di kalangan anggotanya sendiri dan menyebarkan agama Islam di luar anggota inti. Untuk mencapai tujuan ini, organisasi itu bermaksud mendirikan lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh yang membicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat kabar dan majalah.
Sebagai jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang tidak bisa merespon tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Ini mengadopsi pendidikan model Barat, karena sistemnya dipandang “yang terbaik” dan disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama. Dengan kata lain, ia berusaha untuk mengislamkan berbagai segi kehidupan yang tidak Islami. Umat Islam tidak diarahkan kepada pemahaman “agama mistis” melainkan menghadapi duni secara realitis.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan surat ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. izin itu hanya berlaku untuk daerah Yokyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sbabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srakandan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah di luar Yokyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yokyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf Bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi. Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang- bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:

1. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
2. Muhammadiyah dalam melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan dan cita-cita organisasinya berasaskan Islam. Menurut Muhammadiyah, bahwa dengan Islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia dan akhirat, material dan spiritual.
Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang berdasarkan Islam, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah dilakukan menurut cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dakwah Islam dilakukan dengan hikmah, kebijaksanaan, nasehat, ajakan, dan jika perlu dilakukan dengan berdialog.
Usaha-usaha yang dirintis dan dilaksanakan menunjukkan bahwa Muhammadiyah selalu berusaha memperbarui dan meningkatkan pemahaman Islam secara rasional sehingga Islam lebih mudah diterima dan dihayati oleh segenap lapisan masyarakat.
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu ‘Aisyah. Bagian ini menyelenggarakan tabligh khusus wanita, memberika kursus kewanitaan. Pemeliharaan fakir miskin, serta memberi bantuan kepada orang sakit. Kegiatan Muhammadiyah dengan ‘Aisyah ini berjalan baik, terutama karena banyak orang Islam baik menjadi anggota maupun simpatisan memberikan zakatnya kepada organisasi ini.
Di samping ‘Aisyiah, kegiatan lain dalam bentuk kelembagaan yang berada di bawah organisasi Muhammadiyah ialah :
1. PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) yang bergerak dalam usaha membantu orang-orang miskin, yatim piatu, korban bencana alam dan mendirikan klinik-klinik kesehatan
2. Hizb AI-Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah yang dibentuk pada tahun 1917 M. oleh K.H. Ahmad Dahlan
3. Majlis Tarjih, yang bertugas mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.
Cita-cita K.H. Ahmad Dahlan sebagai ulama cukup tegas, ia ingin memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita Islam. Usaha-usahanya lebih ditujukan untuk hidup beragama. Keyakinannya bahwa untuk membangun masyarakat bangsa haruslah terlebih dahulu di bangun semangat bangsa.
Dengan keuletan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dengan gerakannya yang tidak pernah luput dari amal, kelenturan dan kebijaksaan dalam membawa misinya, telah mampu menempatkan posisi “aman”, baik pada zaman penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jejak langkah K.H. Ahmad Dahlan senantiasa menitik- beratkan pada pemberantasan dan melawan kebodohan serta keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Arus dinamika pembahruan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karean pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dan membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.
Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui per-kumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya.
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
Pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
________________________________________










DAFTAR PUSTAKA

DR.H. Samsul Rizal, M.A.. Filsafat Pendidikan Islam.Ciputat Pers. Jakarta. 2002.

Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007).
Abdul Munir Mulkhan, Prof.Dr.SU, Kisah dan Pesan Kiai Ahmad Dahlan (Yogyakarta: Pustaka, 2005)
Abuddin Nata, FIlsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru) (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005)
Ahmad Mansur Suryanegara, Prof.Ph.D, Filsafat Sejarah (Makalah Mata Kuliah), (Jurusan SPI Fak.Adab IAIN SGD, Bandung, 2003)
Ali Asyraf, Horison Baru Pendidikan Islam, terjemahan, Sori Siregar (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).
Alfian, Muhammadiyah The Political Behavior of Allah SWT Muslim Modernist Organization Undr Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1085)
Alwi Shihab, Membendung Arus Resopn Gerakan Muhammdiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998)
Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam (Jember, Mutiara Offset, 1985)
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993)
Clifford Geertz, The Religion of Java (New York: The free Press of Glencoe, Inc., 1961)
Berita Resmi Muhammadiyah (BRM) No.23/April 1995 Delia Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942I (Jakarta: LP3ES, 1995)
Read more »

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Dunia_Pendidikan 2011